Bab I Pendahuluan
1.1 Alasan pemilihan Judul
Sebelum
kita masuk dalam pembahasan tentang pelanggaran terhadap hak-hak warga negara
yang telah di jamin oleh UUD 1945. Terlebih dahulu kita akan membahas tentang
hak-hak warga negara yang di jamin oleh UUD 1945. Negara atau pemerintah yang
merupakan pemegang dan pelaksana amanat dari konstitusi dasar
indonesia,yaitu UUD 1945. Sebagai
pemegang amanat UUD 1945, negara seharusnya menjalankan amanat – amanat yang
dibebankan kepadanya dengan sebaik mungkin, dalam hal ini, bisa diwujudkan
dengan membuat kebijakan – kebijakan yang sesuai dengan aspirasi, kebutuhan
serta kehendak warga negaranya, dengan kata lain, pemerintah pusat ataupun
daerah diharapkan dapat membuat sistem pemerintahan serta kebijakan yang sesuai
dengan kondisi serta kehidupaan dalam kenyataan yang berlangsung dimasyarakat.
Di
dalam UUD 1945 secara tegas telah di atur tentang mengenai hak- hak warga
negara yang di jamin oleh negara.Hak-hak itu antara lain ;
1. Hak
warga negara untuk mendapat penghidupan yang layak
2. Hak
warga negara untuk memperoleh pendidikan
3. Hak
warga negara utuk memeluk agama sesuai keyakinannya
4. Hak
wagara negara untuk dipilih dan memilih dalam PEMILU
5. Hak
warga negara untuk mendapatkan kepastian dan keadilan dalam hukum
6. Hak
warga negara untuk memperoleh jaminan kesehatan
7. DLL.
Setelah
kita mengetahui tentang hak - hak dari setiap warga negara yang dijamin oleh
UUD 1945, maka kita akan mengetahui bahwa negara memiliki tanggung jawab yang
sangat besar bagi berlakunya, serta terjaminnya hak-hak warga negaranya. Tapi
hal yang telah kami uraikan di atas belum semuanya dapat diwujudkan. Bahkan
saya rasa belum satupun dari hak – hak warga negara tersebut yang terpenuhi,
Kita masih bisa melihat banyak pelangaran terhadap hak-hak warga negara.
Contohnya : Hak mendapat penghidupan yang layak, pada kenyataannya masih banyak
warga negara Indonesia yang mati karena kelaparan dan hidup jauh dibawah garis
kemiskinan. Contoh lain adalah hak memilih dan dipilih dalam pemilu, kenyataan
yang terjadi dilapangan adalah, yang mempunyai uang dan kekuasaan saja serta
memiliki banyak jalur didunia politik yang dapat menjadi pemempin, hal ini saya
simpulkan karena, sejak pemilu pertama hingga kini, saya belum pernah atau
menyaksikan ada pemimpin dari mulai presiden hingga lurah yang berasal dari
kaum independen. Hak untuk memperoleh pendidikan, masih banyak rakyat Indonesia
yang buta huruf, jangankan didaerah pedesaan, didaerah yang dekat dengan
ibukota negra saja seperti Bandung, Sukabumi dan Bogor, rata – rata pendidikan
masyarakatnya hanya lulusan SMP. Hal ini tentu saja sangat memalukan bagi
bangsa ini, karena Malaysia saja yang beberapa belas tahun yang lalu masih
belajar dengan bangsa kita ini, sekarang tingkat pendidikan serta pertumbuhan
perkonomiannya jauh melampaui bangsa kita ini. Mengapa hal demikian bisa
terjadi ?
,Di
dalam makalah yang saya angkat sekarang ini, saya akan membahas tentang suatu
PERDA, yang menurut kami sangat bertentangan dengan apa yang sudah di amanatkan
oleh UUD 1945. PERDA yang kami maksud adalah perda yang di keluarkan oleh
pemerintah provinsi DKI tentang ketertiban umum, secara garis besar, selain
bertentangan dengan UUD 1945 yang merupakan sumber hukum positif nomor dua di
Indonesia setelah Pancasila, perda ini juga melanggar undang – undang mengenai
HAM
PEMPROV
DKI mengeluarkan perda no 8 tahun 2007 tentang ‘’KETERTIBAN UMUM’’ , di dalam
perda itu pemprov DKI mengatur tentang masalah ketertiban umum, yang antara
lain melarang para pedagang kaki lima yang berjualan di sepajang trotoar
ataupun tempat umum lainnya. Tapi yang kami sorot bukan masalah pelarangan
terhadap para pedagang kaki lima itu. Disini kami akan membahas tentang isi
perda no 8 tahun 2007 yang melarang bagi setiap warga masyarakat di Jakarta,
agar tidak memberikan uang atau apapun bentuknya kepada setiap;
Ø GEPENG
(Gelandangan dan pengemis)
Ø Pengamen
Ø Fakir
miskin
Ø Dan
Anak jalanan
Bagi
mereka yang secara terbukti memberi ataupun menerimanya dapat di hukum pidana
dan hukuman denda. Hal ini sesuai dengan isi perda no 8 tahun 2007. Hal itu
menurut saya sangat ironis, karena menurut UUD 1945, Pasal 34 ayat 1 ,sudah
sangat jelas. Dimana di dalam pasal itu sudah dijamin, bahwa negara menjamin
serta memelihara para anak jalanan, fakir miskin dan gelandangan. Jadi, menurut saya hal itu harusnya tidak perlu di
lakukan oleh pemprov DKI. Itu sama saja pemprov DKI telah melanggar hak-hak
dasar mereka. Karena dari jalananlah mereka menggantungkan hidup, dan dari
jalananlah mereka mencari nafkah.Jika hal itu dilarang, mau kemana lagi
mereka mencari sumber penghidupan?
Dan menurut saya hal tersebut juga merenggut
hak – hak para masyarakat yang memberi bantuan kepada mereka. Seharusnya
PEMPROV DKI masih bersyukur dan harus berbangga diri, karena masyarakatnya masih
peduli terhadap sesamanya yang kesusahan dan ini juga sebagai bentuk dukungan
masyarakat kepada PEMPROV DKI dalam mengatasi masalah kemiskinan di Jakarta
ini. Jadi menurut saya hal ini sangat tidak berperi kemanusiaan, karena negara
yang ditunjuk oleh UUD 1945 berlaku semena-mena terhadap warga negaranya. Anak
jalanan, pengemis, fakir miskin, serta gelandangan juga merupakan bagian dari
warga negara. Itu semua hanyalah julukan atau sebutan mereka yang dilihat dari
sisi ekonomi, yang tidak bernasib baik seperti warga negara lainnya. Tidak ada
yang membedakan antara mereka dengan
warga negara lain untuk mendapatkan hak mereka sesuai dengan apa yang sudah di
amanatkan oleh UUD 1945. Karena konstitusi tidak melihat kedudukan setiap warga
negaranya dari sudut apapun, setiap warga negara dianggap sama.
Hal yang saya uraikan diataslah yang
menjadi penyebab dan alasan saya memilih judul makalah ini, dengan kata lain
saya ingin mengungkap kerancuan – kerancuan terhadap perda tersebut dan perda
tersebut juga salah kaprah, serta pengaplikasian dalam prakteknya dilapangan
tidaklah sesuai dengan kebutuhan rakyat.
1.2 Tujuan Penulisan
Penulisan
makalah ini pada dasarnya merupakan pemikiran saya untuk mengubah pandangan
terhadap siapa saja yang membaca makalah ini bahwa gelandangan, pengemis, anak
terlantar, dan fakir miskin pada dasarnya merupakanwarga negara yang juga
mimiliki hak serta kewajiban yang sama seperti warga negara lainnya. Hanya saja
mereka kurang beruntung dalam segi ekonomi mereka, entah itu merupakan akibat
dari tingkat pendidikan mereka yang rendah atau merupakan akibat dari faktor –
faktor lainnya. Yang jelas apapun pekerjaan mereka, itu merupakan pilihan hidup
yang mereka jalani, selama hal itu tidak merugikan orang lain, menurut saya itu
sah – sah saja, dan tidak ada yang bias melarang pilihan hidup orang tersebut,
termasuk pemerintah.
Latar
belakang lain penulisan makalah ini adalah untuk dapat menjadi bahan kajian
untuk pemerintah agar didalam membuat suatu undang – undang atau peraturan saya
harapkan agar sesuai dengan kebutuhan serta realitas yang terjadi dimasyarakat,
dan juga peraturan – peraturan yang dibuat janganlah makin menyudutkan
masayarakat kecil serta merampas hak – hak dasar mereka. Mereka itu seharusnya
dibantu serta dibimbing untuk dapat hidup secara layak, bukan justru malah
disudukan dan diberatkan oleh aturan – aturan yang ada.
Bab II Pembahasan
2.1 Perumusan Masalah
Apakah Perda No. 8 tahun 2007
tentang ‘’KETERTIBAN UMUM’’ yang dikeluarkan oleh PEMPROV DKI sesuai dengan
kebutuhan masyarakat Jakarta dan Apakah Perda tersebut tidak berbenturan dengan
peraturan – peraturan lain terutama UUD 1945 ?
2.2 Pembahasan Perda No. 8 tahun 2007
2.2.1
Pasal Perda yang menjadi Acuan Pembahasan
·
Uraian No. 21 Orang / badan dilarang meminta
bantuan / sumbangan di jalan, pasar, kendaran umum, rumah sakit, sekolah,
kantor. Hukuman denda minimal Rp 100.000, hukuman denda maksimal Rp 2.000.000. Hukuman
penjara minimal 10 hari, hukuman penjara maksimal 60 hari. Pasal 39 ayat1
·
Uraian No. 22 Dilarang menjadi pengemis,
pengamen, pedagang asongan dan pengelap mobil. Hukuman denda minimal Rp 100.000
hukuman denda maksimal Rp 2.000.000. Hukuman penjara minimal 10 hari, hukuman
penjara maksimal 60 hari. Pasal 40 ayat b
·
Uraian No. 23 Dilarang membeli / memberi
kepada pengemis dll (no. 22). Hukuaman denda minimal Rp 100.000, hukuman denda
maksimal Rp 2.000.000. Hukuman penjara minimal 10 hari, hukuman penjara
maksimal 60 hari. Pasal 40 ayat c
2.2.2
Analisis Terhadap Perda No. 8 Tahun 2007
i.
Arah
Kebijakan Pemerintah Propinsi DKI Jakarta
Perda Tibum ini dikeluarkan pada
masa dibuatnya Rencana Strategis Daerah Provinsi DKI
Jakarta 2002 – 2007.
Berdasarkan Renstrada tersebut maka Jakarta memiliki dua peran yaitu peran
sebagai ibukota negara dan peran sebagai kota jasa. Dengan dua peran tersebut,
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus menjawab empat tantangan besar yaitu, tantangan
sosial, tantangan ekonomi, tantangan sarana dan prasarana kota, tantangan
pengelolaan tata pemerintahan. Untuk menjawab keempat tantangan ini maka
dirumuskan Visi dan Misi dari DKI Jakarta. Visi dari DKI Jakarta dirumuskan
dengan “Terwujudnya Jakarta sebagai ibukota negara Republik Indonesia yang
manusiawi, efisien dan berdaya saing global, dihuni oleh masyarakat yang
partisipatif, berakhlak, sejahtera, dan berbudaya, dalam lingkungan kehidupan
yang aman dan berkelanjutan“ dan misi DKI Jakarta dirumuskan dalam 5 misi yaitu
:
1.
Meningkatkan
pembangunan sarana dan prasarana kota yang efisien, efektif,
kompetitif dan terjangkau.
2.
Mewujudkan
pembangunan yang adil, ramah lingkungan dan berbasis partisipasi masyarakat
3.
Menegakkan
supremasi hukum, meningkatkan keamanan, ketentraman dan ketertiban kota
4.
Meningkatkan
kualitas kehidupan dan kerukunan warga kota
5.
Melaksanakan
pengelolaan tata pemerintahan kota yang baik.
Untuk
menerjemahkan visi dan misi tersebut maka disusunlah Pokok Kebijakan Pembangunan
Propinsi DKI Jakarta 2002-2007 yaitu:
a)
Menegakkan
supremasi hukum, kepastian hukum dan budaya hukum
b)
Meningkatkan
kapasitas kelembagaan dan kualitas aparatur daerah dalam rangka penyelenggaraan
pemerintahan daerah dan pelayanan publik yang lebih berkualitas, profesional,
transparan dan akuntabel
c)
Meningkatkan
pengelolaan keuangan, aset dan usaha daerah dalam rangka peningkatan
kemandirian daerah
d)
Mempercepat
pemulihan ekonomi daerah melalui perbaikan infrastruktur dan akses sumber daya
ekonomi, dalam rangka mengurangi pengangguran dan kemiskinan
e)
Mewujudkan
dan memperkuat basis ekonomi melalui penguatan jaringan produksi dan
distribusi, peningkatan peranserta usaha mikro, UKM dan koperasi, penggunaan
teknologi ramah lingkungan dan peningkatan daya saing produk
f)
Meningkatkan
kemampuan penyediaan layanan pendidikan dan kesehatan dalam rangka wajib
belajar 9 tahun, pemerataan pendidikan dan pemerataan layanan kesehatan
g)
Meningkatkan
pengendalian penduduk dan sumber daya tenaga kerja dalam rangka peningkatan
kualitas penduduk, perluasan kesempatan kerja, kesempatan berusaha dan
peningkatan produktivitas masyarakat
h)
Memperkuat
dan memperluas jaringan kerjasama antar lembaga kemasyarakatan dan tokoh
masyarakat dalam rangka mengurangi konflik sosial dan tawuran masa
i)
Meningkatkan
infrastruktur sosial dalam rangka pengendalian PMKS, penyalahgunaan narkoba dan
tawuran pelajar
j)
Meningkatkan
pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup melalui perluasan ruang
terbuka hijau, pengendalian produksi, pengendalian konsumsi dan pengendalian
aktivitas yang kurang ramah lingkunga
k)
Meningkatkan
pembangunan sarana dan prasarana kota dalam rangka peningkatan pelayanan dan
daya dukung kota
Untuk memperjelas arah dan tujuan
pembangunan Propinsi DKI Jakarta dalam 5 tahun ke depan, maka digunakan 2 (dua)
pendekatan implementasi yang akan dilaksanakan, yaitu melalui pendekatan
partisipatif yang berarti Mewujudkan masyarakat kota yang mandiri dan sejahtera
melalui proses pemberdayaan, dengan mengedepankan prinsip demokratisasi,
kesetaraan dan keberpihakan pada masyarakat dan juga melalui pendekatan
komprehensif, yaitu membentuk struktur ruang kota yang strategis sesuai
kebutuhan dan kondisi wilayah/kawasan, secara berkeadilan, ramah lingkungan dan
berkelanjutan. Kedua pendekatan tersebut diimplementasikan secara sinergis,
terintegrasi, bertahap dan berkesinambungan.
Strategi di Bidang Hukum,
Ketentraman, Ketertiban Umum dan Kesatuan Bangsa meliputi Menegakkan supremasi
hukum dengan meningkatkan kapasitas kelembagaan, meningkatkan kualitas individu
aparat, menumbuhkan kesadaran masyarakat akan peraturan, membangun mentalitas
penegak hukum yang profesional, jujur dan tegas untuk mendukung tercapainya
kepastian, keharmonisan kehidupan hukum di tengah-tengah masyarakat sehingga
tercipta keadaan yang aman, tertib dan tenteram. Strategi pada bidang Hukum,
Ketentraman, Ketertiban Umum dan Kesatuan Bangsa memiliki 4 indikator yaitu:
1.
Tegaknya
supremasi hukum di wilayah Propinsi DKI Jakarta
2.
Meningkatnya
kesadaran masyarakat ibu kota akan aturan-aturan dalam Hukum
3.
Terwujudnya
keharmonisan hidup di masyarakat, sehingga tercipta rasa aman, tertib dan
tenteram, serta menguatnya rasa kebangsaan
4.
Meningkatnya
kualitas moral dan mentalitas aparatur penegak hukum Pemda Propinsi DKI
Jakarta.
ii.
Ruang Lingkup
Perda
Salah satu urusan wajib yang menjadi
kewenangan pemerintah daerah provinsi adalah penyelenggaraan Ketertiban Umum
dan ketenteraman masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 13 ayat
(1) huruf c Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta berkomitmen untuk
menyelenggarakan urusan wajib dimaksud dalam rangka penegakkan Peraturan
Daerah, menjaga ketenteraman dan ketertiban guna terwujudnya kota Jakarta
sebagai kota jasa, kota perdagangan dan kota pariwisata yang masyarakatnya
nyaman, aman dan tenteram.
Kebijakan yang diambil oleh
pemerintah dan DPRD Provinsi DKI Jakarta seharusnya diarahkan pada peningkatan
upaya untuk dapat menjamin tercapainya ketertiban umum tanpa menggunakan pola
atau melakukan perumusan yang mempunyai kecenderungan tinggi untuk
overkriminalisasi. Pola kebijakan yang dirumuskan tanpa partisipasi masyarakat
secara luas juga mempunyai kecenderungan untuk melanggar peraturan
perundang-undangan yang berada di atas Perda seperti UU No 10 Tahun 2004.
Suatu kebijakan publik yang baik dan
dirumuskan dalam bentuk peraturan perundang – undangan yang baik seharusnya
memuat asas pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik seperti:
1.
kejelasan
tujuan
2.
kelembagaan
atau organ pembentuk yang tepat
3.
kesesuaian
antara jenis dan materi muatan
4.
dapat
dilaksanakan
5.
kedayagunaan
dan kehasilgunaan
6.
kejelasan
rumusan
7.
keterbukaan
Dan
materi dari perumusan aturan tersebut harus berpijak pada asas:
1.
Pengayoman
2.
Kemanusiaan
3.
kebangsaan
4.
kekeluargaan
5.
kenusantaraan
6.
bhinneka
tunggal ika
7.
keadilan
8.
kesamaan
kedudukan dalam hukum dan pemerintahan
9.
ketertiban
dan kepastian hukum; dan/atau
10. keseimbangan, keserasian, dan
keselarasan.
Salah satu urusan wajib yang menjadi
kewenangan pemerintah daerah provinsi adalah penyelenggaraan Ketertiban Umum
dan ketenteraman masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 13 ayat
(1) huruf c Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta berkomitmen untuk
menyelenggarakan urusan wajib dimaksud dalam rangka penegakkan Peraturan
Daerah, menjaga ketenteraman dan ketertiban guna terwujudnya kota Jakarta
sebagai kota jasa, kota perdagangan dan kota pariwisata yang masyarakatnya
nyaman, aman dan tenteram.
Untuk itu Perda Tibum ini mempunyai
posisi yang sangat strategis dan penting untuk memberikan motivasi dalam
menumbuhkembangkan budaya disiplin masyarakat guna mewujudkan tata kehidupan
kota Jakarta yang lebih tenteram, tertib, nyaman, bersih dan indah, yang
dibangun berdasarkan partisipasi aktif seluruh komponen masyarakat.
Terkait dengan hal tersebut, maka
dalam Peraturan Daerah ini mengatur substansi materi muatan sebagai berikut:
1.
tertib
jalan dan angkutan jalan
2.
tertib
jalur hijau, taman dan tempat umum
3.
tertib
sungai, saluran, kolam dan lepas pantai
4.
tertib
lingkungan
5.
tertib
tempat usaha dan usaha tertentu
6.
tertib
bangunan
7.
tertib
sosial
8.
tertib
kesehatan
9.
tertib
tempat hiburan dan keramaian
10. tertib peran serta masyarakat.
Sebagaimana ketentuan lain, maka
Perda Tibum juga mempunyai sanksi pidana yang dibagi dalam dua jenis yaitu
tindak pidana pelanggaran dan tindak pidana kejahatan. Sanksi pidana ini diatur
dalam Bab XIV yang terdiri dari 4 pasal. Secara umum variasi ancaman hukuman
pidana untuk jenis tindak pidana pelanggaran adalah pidana kurungan berada pada
kerangka min 10 hari hingga mencapai max 180 hari sementara pidana denda min
Rp. 100.000 hingga mencapai max Rp. 50.000.000.
iii.
Analisa Masalah
Terdapat beberapa pihak terkait yang
dapat menjadi rujukan dalam perubahan kebijakan dalam memandang persoalan di
seputar ketertiban umum yaitu perumus dan pembuat kebijakan, yaitu pemerintah
provinsi DKI Jakarta dan DPRD DKI Jakarta, pelaksana kebijakan yang biasanya
terdiri dari tiga pihak yaitu Dinas Sosial, Dinas Tramtib, dan Satpol PP, dan
yang paling terpenting adalah objek dari kebijakan, yaitu masyarakat.
Pada tingkat perumus dan pembuat
kebijakan diperlukan suatu strategi kebijakan yang dapat mempengaruhi suatu
proses perumusan dan pembuatan kebijakan. Pilihan ini dapat diambil oleh
masyarakat, karena jaminan terhadap partisipasi masyarakat sebagaimana telah
diamanatkan dalam Pasal 53 UU No 10 tahun 2004 yang berbunyi “Masyarakat
berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan
atau pembahasan rancangan undang-undang dan rancangan peraturan daerah.”
Para tingkat pelaksana kebijakan,
perlu adanya suatu strategi pendekatan untuk tidak hanya semata – mata
melakukan penegakkan hukum, akan tetapi dapat ditekankan pada konsistensi
penegakkan hukum sehingga tidak muncul kesan adanya tindakan yang dikategorikan
sebagai tindakan diskriminatif
Pada tingkat objek kebijakan, perlu
dirumuskan adanya strategi agar masyarakat dapat mematuhi kebijakan yang telah
ditetapkan namun di saat yang sama masyarakat juga dapat tetap menjalankan mata
pencaharian dan dorongan untuk dapat berbuat dan berbagi terhadap kelompok
masyarakat miskin di Jakarta
Terlepas dari persoalan tersebut,
Peraturan Daerah No 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum (lebih dikenal dengan
Perda Tibum), sejak awal sudah menuai reaksi
negatif dari masyarakat dan bahkan mengancam akan
mengajukan pengujian
perda ke Mahkamah Agung. Reaksi penolakan yang juga diikuti
dengan langkah hukum dengan mengajukan pengujian perda tibum ini ke Mahkamah Agung
patut menjadi perhatian.
Setidaknya ada permasalahan penting
dalam pandangan penulis terkait dengan Perda Tibum ini yaitu persoalan Pedagang
Kaki Lima dan persoalan pengemis. Persoalan ini penting mengingat adanya
pemidanaan tidak hanya terhadap pedagang kaki lima namun juga terhadap konsumen
dari pedagang kaki lima tersebut (Vide Pasal 27 jo Pasal 61 ayat (1) Perda No 8
Tahun 2007) serta adanya pemidanaan tidak hanya terhadap pengemis namun juga
terhadap orang yang memberikan sedekah kepada pengemis tersebut (Vide Pasal 40
jo Pasal 61 ayat (1) Perda No 8 Tahun 2007).
iv.
Strategi
Alternatif
Strategi yang harus diambil terkait
dengan persoalan pedagang kaki lima serta pengemis seharusnya mengacu pada
strategi yang dirumuskan pada Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2007 – 2012 diantaranya
yaitu: optimalisasi pemanfaatan sumber daya kota yang mencakup aset Human,
Social, Cultural, Intelectual and Creative, Natural, Environmental dan
Infrastructure, dalam rangka memberikan kontribusi guna terwujudnya kota
Jakarta yang nyaman dan sejahtera untuk semua serta berkelanjutan., Konsistensi
dalam implementasi Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah,
penegakan hukum terhadap pelanggaran baku mutu lingkungan, mengembalikan
keadaan udara bersih, laut biru dan air tanah yang tidak tercemar, dan
Membangun model kebersamaan antara pemerintah, masyarakat dan pemangku
kepentingan lainnya dalam rangka menyelesaikan berbagai masalah, menjawab
tantangan masa depan, dan memanfaatkan potensi dan peluang yang dimiliki kota.
Ada beberapa pilihan strategi
alternatif yang dapat ditempuh dalam menjalankan kebijakan terkait dengan
ketertiban umum yang pada pokoknya adalah merumuskan ulang Perda No 8 Tahun
2007 tentang Ketertiban Umum. Hal ini diperlukan mengingat bahwa secara prinsip
Perda No 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum ini dapat menimbulkan kontroversi
yang meluas di kalangan masyarakat dan memiliki ketidak sesuaian dengan RPJMD
2007 – 2012 yang telah dirumuskan oleh pemerintah dan DPRD DKI Jakarta
Namun ada beberapa strategi
alternatif yang dapat dipertimbangkan pada tingkat pelaksanaan kebijakan yaitu
terkait dengan persoalan pedagang kaki lima adalah melakukan penataan ruang
perkotaan yang berbasis pada partisipasi masyarakat luas dan mempertimbangkan
kebutuhan ada daya dukung lingkungan, memberikan ruang – ruang yang cukup di
lingkungan kota bagi para pelaku usaha mikro dan untuk persoalan terkait dengan
gelandangan dan pengemis dapat digunakan strategi yaitu pengembangan sistem
informasi kependudukan yang terpadu untuk mencegah arus urbanisasi dari wilayah
sekitar Jakarta ke wilayah Jakarta, memperbanyak balai latihan kerja dan/atau balai wirausaha sehingga
kelompok masyarakat miskin di Jakarta dapat mengembangkan keterampilan diri,
dan memperluas pelayanan serta rehabilitasi sosial. Keseluruhan Strategi
alternatif ini harus dilaksanakan secara terpadu dan berkesinambungan untuk
dapat mencapai hasil yang terbaik
v.
Pilihan
Strategi Alternatif
Dengan
melihat pada RPJMD 2007 – 2012, maka pilihan strategi alternatif untuk menjawab
tingkat efektifitas Perda Tibum adalah:
1. Perumusan
ulang Perda No 8 Tahun 2007
Perumusan ini diperlukan untuk
menjawab persoalan kriminalisasi terhadap konsumen dari pedagang kaki lima dan
juga pemberi sedekah terhadap pengemis. Persoalan yang terjadi adalah
kriminalisasi terhadap konsumen pedagang kaki lima dan pemberi sedekah terhadap
pengemis juga tidak akan berjalan efektif, karena akan mendapatkan perlawanan
dari masyarakat.
2.
Penataan ruang perkotaan
Penataan
ruang kota juga diperlukan untuk menjawab persoalan menjamurnya pusat – pusat
perdagangan modern di setiap sudut kota Jakarta. Tanpa perencanaan matang, maka
menjamurnya pusat – pusat perdagangan modern dapat membawa dampak ikutan yaitu
polusi dan terganggunya daya dukung lingkungan hidup.
3.
Pengembangan ruang perkotaan bagi pedagang mikro
Pedagang mikro atau pedagang kaki
lima adalah sektor usaha informal yang dapat menampung sektor kelompok usia
produktif yang menganggur. Tanpa menciptakan dan mengatur ruang yang cukup,
maka keberadaan pedagang kaki lima akan dapat menciptakan ketidakteraturan kota
dan juga ketidaknyamanan kota. Namun, apabila sasaran kebijakan hanya melakukan
pemidanaan tanpa memberikan ruang yang cukup bagi para pedagang kaki lima juga
menimbulkan uang retribusi gelap yang akhirnya pemerintah DKI Jakarta tidak
dapat memanfaatkan potensi pajak daerah yang cukup besar itu.
4.
Pengembangan sistem informasi kependudukan yang terpadu
Dengan pengembangan sistem informasi
kependudukan terpadu diharapkan dapat menjadi data statistik jumlah penduduk
miskin di Jakarta dan sebaran tempat tinggal kelompok masyarakat miskin ini.
Dari data ini diharapkan dapat dirumuskan strategi pemecahan masalah agar
kelompok masyarakat miskin ini dapat memperluas akses terhadap layanan –
layanan dasar yang disediakan oleh pemerintah DKI Jakarta dan juga membuka
akses terhadap pekerjaan yang sesuai dengan karakteristik ekonomi di wilayah
domisili kelompok masyarakat miskin tersebut.
5.
Pengembangan balai latihan kerja atau balai wirausaha
Pengembangan balai latihan kerja dan
balai wirausaha ini diperlukan agar kelompok masyarakat miskin ini dapat
ditingkatkan kemampuan dan kapasitasnya sehingga kelompok tersebut juga tidak
hanya mengharapkan sedekah dan derma dari anggota masyarakat lain namun juga
dapat meningkatkan taraf kehidupannya menjadi lebih baik dengan memiliki
keahlian tertentu yang dapat dimanfaatkan untuk mencari dan/atau menciptakan
pekerjaan.
6.
Memperluas pelayanan dan rehabilitasi sosial
Kelompok
masyarakat miskin di Jakarta tidak bisa hanya diberikan pancingan namun juga
diperlukan suatu pendekatan kebijakan yang mampu melindungi dan juga memberikan
fasilitas dasar dan layanan dasar tertentu dari pemerintah. Pemberian fasilitas
dan layanan dasar ini, tidak bisa diberikan selamanya namun dapat diberikan
selama jangka waktu tertentu sampai ia mampu untuk tidak tergantung pada
bantuan pemerintah.
2.2.3
Contoh Kasus
Selasa,
01/09/2009 04:30 WIB
Dikutip
Dari Google
Bersedekah
Ditangkap
Perda Ketertiban Umum No 8/2007
Salah Kaprah
Jakarta - Penerapan Perda No 8 Tahun 2007 tentang
Ketertiban umum telah membuat 12 warga DKI ditangkap akibat memberi sedekah.
Penerapan Perda tersebut dinilai telah salah kaprah.
"Perda itu salah kaprah, saya sudah
mengetahuinya sejak pembahasan di DPR," ujar Sosiolog Universitas
Indonesia, Imam B. Prasodjo saat berbincang dengan detikcom, Senin (31/8/2009)
malam.
Menurut Imam, penerapan Perda ini sangat
mendiskreditkan orang yang ingin beramal. Tidak hanya itu, Imam menilai aturan
tersebut tidak akan efektif untuk menanggulangi masalah pengemis.
"Tidak akan efektif sama sepertinya
operasi yustisi yang marak ketika musim arus balik lebaran," terang pria
kelahiran Purwokerto 1960 ini.
Menanggulangi masalah pengemis seharusnya
dengan program yang lebih mendidik dan memberikan manfaat langsung para gepeng
dan anak jalanan.
"Seharusnya ada program penyelamatan
anak jalanan atau seperti sanggar belajar bersama," tambah Imam.
Perluasan daerah satelit Jakarta untuk
memperluas lapangan kerja bisa menjadi salah satu alternatif untuk mengatasi
masalah pengemis yang semakin marak ketika bulan Ramadhan.
"Karena mereka itu susah mendapatkan
akses pekerjaan. Maka perlu dibuat perluasan di daerah satelit Jakarta untuk
menambah lapangan pekerjaan," usul Imam.
Namun Imam setuju jika sanksi tersebut
diperuntukan bagi para koordinator pengemis. "Setuju jika itu untuk para
koordinator yang meminta jatah dari para pengemi,". pungkas Imam.
i. Bab
dan Pasal Pada Perda Yang Menjadi Dasar Pembahasan Kasus
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan
Daerah ini yang dimaksudkan dengan:
1. Daerah
adalah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
2. Pemerintah
Daerah adalah Gubernur dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggaraan
pemerintahan daerah.
3. Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Daerah
Khusus Ibukota Jakarta.
4. Gubernur
adalah Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
5. Ketertiban
umum adalah suatu keadaan dimana Pemerintah dan rakyat dapat melakukan kegiatan
secara tertib dan teratur.
6. Ketenteraman
masyarakat adalah suatu keadaan dimana pemerintah dan rakyat dapat melakukan
kegiatan secara tenteram dan nyaman.
7. Kepentingan
dinas adalah kepentingan yang terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan
sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya.
8. Jalan
adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk
bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas,
yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan
tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api,
jalan lori, dan jalan kabel.
9. Kendaraan
umum adalah setiap kendaraan bermotor yang disediakan untuk dipergunakan oleh
umum dengan dipungut bayaran.
10. Jalur
hijau adalah setiap jalur-jalur yang terbuka sesuai dengan rencana kota yang
peruntukkan penataan dan pengawasannya dilakukan oleh pemerintah daerah.
11. Taman
adalah sebidang tanah yang merupakan bagian dari ruang terbuka hijau kota yang
mempunyai fungsi tertentu, ditata dengan serasi, lestari dengan menggunakan
material taman, material buatan, dan unsur-unsur alam dan mampu menjadi areal
penyerapan air.
12. Tempat
umum adalah sarana yang diselenggarakan oleh Pemerintah, swasta atau perorangan
yang digunakan untuk kegiatan bagi masyarakat, termasuk di dalamnya adalah
semua gedung-gedung perkantoran milik Pemerintah Daerah Provinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta, gedung perkantoran umum, mall dan pusat perbelanjaan.
13. Badan
adalah perseroan terbatas, perseroan komanditer, badan usaha milik Negara atau
Daerah, dengan nama dan bentuk apapun, persekutuan, firma, kongsi, perkumpulan,
koperasi, yayasan atau lembaga dan bentuk usaha tetap.
14. Pedagang
kaki lima adalah seseorang yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan jasa
yang menempati tempat-tempat prasarana kota dan fasilitas umum baik yang
mendapat izin dari pemerintah daerah maupun yang tidak mendapat izin pemerintah
daerah antara lain badan jalan, trotoar, saluran air, jalur hijau, taman, bawah
jembatan, jembatan penyeberangan.
15. Parkir
adalah tempat pemberhentian kendaraan bermotor dan tempat untuk menurunkan
serta menaikkan orang dan/atau barang yang bersifat tidak segera.
16. Hiburan
adalah segala macam atau jenis keramaian, pertunjukan, permainan atau segala
bentuk usaha yang dapat dinikmati oleh setiap orang dengan nama dan dalam
bentuk apapun, dimana untuk menonton serta menikmatinya atau mempergunakan
fasilitas yang disediakan baik dengan dipungut bayaran maupun tidak dipungut
bayaran.
17. Ternak
potong adalah hewan untuk keperluan dipotong yaitu sapi, kerbau, domba, babi,
kuda dan hewan lainnya yang dagingnya lazim dikonsumsi.
18. Pemasukan
ternak adalah kegiatan memasukkan ternak dari luar Daerah Khusus Ibukota
Jakarta untuk keperluan dipotong dan/atau diperdagangkan.
19. Pencemaran
adalah akibat-akibat pembusukan, pendebuan, pembuangan sisa-sisa pengolahan
dari pabrik, sampah minyak, atau asap, akibat dari pembakaran segala macam
bahan kimia yang dapat menimbulkan pencemaran dan berdampak buruk terhadap lingkungan,
kesehatan umum dan kehidupan hewani/nabati.
20. Keadaan
darurat adalah suatu keadaan yang menyebabkan baik orang maupun badan dapat
melakukan tindakan tanpa meminta izin kepada pejabat yang berwenang untuk
melakukan pencegahan, penanganan dan penyelamatan atas bahaya yang mengancam
keselamatan jiwa manusia.
ii Perumusan
Masalah Berdasarkan Kasus yang Diangkat
Hingga kini pro dan kontra terhadap penerapan
perda trsebut masih terus bergulir. lalu bagaimana sebenarnya aturan yang
melarang seseorang untuk beramal tersebut ?
iii.
Analisa Kasus
Berikut ini kutipan pasal yang menjerat
pemberi sedekah:
Pasal 40
Setiap orang atau badan dilarang:
a) menjadi pengemis, pengamen, pedagang asongan,
dan pengelap mobil;
b) menyuruh orang lain untuk menjadi pengemis,
pengamen, pedagang asongan, dan pengelap mobil;
c)
membeli
kepada pedagang asongan atau memberikan sejumlah uang atau barang kepada
pengemis, pengamen, dan pengelap mobil.
v Ketentuan Pidana
Pasal 61
(1)
Setiap orang atau badan yang melanggar ketentuan Pasal 2 ayat (1), ayat (2),
ayat (3), Pasal 3 huruf i, Pasal 4 ayat (2), Pasal 5 huruf a, Pasal 1 ayat (1),
Pasal 8, Pasal 9, Pasal 11 ayat (2), Pasal 12 huruf a, huruf e, huruf h, Pasal
14 ayat (1), ayat (2), Pasal 17 ayat (2), ayat (3), Pasal 19 huruf b, Pasal 21
huruf a, huruf b, huruf c, Pasal 25 ayat (2), ayat (3), Pasal 27 ayat (1), ayat
(2), ayat (3), Pasal 28 ayat (2), Pasal 29 ayat (3), Pasal 31 ayat (1), Pasal
38 huruf a, huruf b, Pasal 39 ayat (1), Pasal 40 huruf a, huruf c, Pasal 51,
Pasal 54 ayat (2) dan Pasal 57 dikenakan ancaman pidana kurungan paling singkat
10 (sepuluh) hari dan paling lama 60 (enam puluh) hari atau denda paling
sedikit Rp. 100.000,- (Seratus Ribu Rupiah) dan paling banyak Rp. 20.000.000,-
(Dua Puluh Juta Rupiah).
v Kontra
Perda Tibum 8/07
Bertentangan
dengan konstitusi
Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Khusus Ibukota Jakarta pada tanggal 10 September 2007
telah mengesahkan Peraturan Daerah (Perda) No. 8 tahun 2007 tentang Ketertiban
Umum. Perda ini adalah pengganti dari Perda No.11 tahun 1988 yang dianggap
sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan DKI Jakarta saat ini. Proses perancangan
Perda 8/2007 ini dilakukan tanpa disertai kajian akademis dan tidak melalui
konsultasi publik. Selain proses pembuatan yang menyalahi prosedur sebagaimana
diatur oleh UU, isi dari Perda tersebut banyak yang melanggar UUD 1945,
Undang-Undang No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang No.11
tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak Ekonomi Sosial Budaya dan mengingkari
asas kemanusiaan. Padahal, dalam UU 10 tahun 2004 diamanatkan bahwa peraturan
perundangan yang dibuat, isinya harus sesuai dengan asas kemanusiaan :
(1) Materi Muatan Peraturan
perundang-undangan mengandung asas:
a.
Kemanusiaan
Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf b:
Yang
dimaksud dengan “asas kemanusiaan” adalah bahwa setiap materi muatan peraturan
perundang-undangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak
asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk
Indonesia secara proporsional.
Dalam
catatan Institut EcosocRights, jika dalam satu bulan terdapat 1.000 orang di
Jakarta dan sekitarnya kehilangan pekerjaan atau tempat tinggal karena
penggusuran dan penangkapan oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), angka
itu masih terbilang kecil. Rata-rata jumlah korban penggusuran setiap bulannya
mencapai 3.200 orang. Sebagian besar terjerat oleh Perda DKI No 8 Tahun 2007
mengenai Ketertiban Umum.
Sebegitu ganas perda ini menghabisi
kelompok informal di ibu kota. Memprihatinkan. Apalagi modus-modus penangkapan
dan penggusurannya semakin mengerikan. Teman
kami seorang pengamen, Dede Armila sampai sering dicekam rasa takut saat harus
memegang gitar di jalanan. Apalagi setelah beberapa kali ia lihat cara Satpol
PP menangkapi mereka dengan cara yang makin licik. Mereka bagi-bagi sembako
pada emak-emak gelandangan dan pengamen atau permen dan makanan kecil pada anak
jalanan. Setelah ngumpul, tiba-tiba Satpol PP mengepung. Mereka ditangkapi dan
dimasukkan dalam mobil yang berkerangkeng. ‘Kami menyebut mobil itu dengan
istilah kaleng kerupuk.’ Hal seperti ini sering sekali terjadi di daerah
Tomang, Jakarta Barat.
Sebenarnya
perda kontroversi ini mulai jadi bahasan kami sejak September 2007. Waktu itu
gubernur DKI masih dipegang Sutiyoso. Perda tersebut sungguh meresahkan kami
karena banyak sekali pasal-pasal yang mengancam kehidupan orang miskin di
Jakarta. Gelombaang protes pedagang kaki lima, pengamen, waria, perempuan yang
dilacurkan, anak jalanan, dan orang miskin bermunculan. Berbagai aksi
demontrasi digelar di kantor-kantor instansi pemerintah. Kami datangi kantor
gubernur, kantor DPRD, Departemen Dalam Negeri (Depdagri), Istana Negara untuk
meminta para pejabat negara agar tidak sekejam itu membuat aturan. Tampaknya
kami seperti bicara dengan tembok. Bahkan salah satu pegawai Depdagri yang
menemui kami, dengan ringan berkata “Kenapa mesti berjualan di trotoar? Kenapa
tidak cari pekerjaan menjadi buruh cuci pakaian?” Kami sampai tidak bisa
menjawab.
Beginilah kalau kita dipimpin oleh para
pejabat yang tidak tahu susahnya menjadi buruh cuci. Orang dilarang mencari
kesempatan lebih baik dari buruh cuci. Jadi saat pejabat Depdagri membahas
perda ini di sebuah hotel mewah di kawasan pantai Ancol, tidak ada bayangan
apapun tentang nasib orang-orang miskin ini akibat peraturan yang sedang mereka
bahas. Perda itu diloloskan begitu saja.
Saking
kesalnya, kami kemudian ngamen.
Hasil ngamen kami serahkan kepada presiden sebagai
ungkapan kekecewaan kami pada negara yang tidak melindungi kami. Tapi polisi
melarang kami mendekati pasukan penjaga istana yang akan kami titipi duit
tersebut. Polisi itu berjanji akan menyerahkan uang itu ke Sekretariat Negara
untuk diserahkan ke SBY. Tentu kami tahu, polisi itu hanya membual. Usaha lain
untuk mendekati presiden adalah dengan menitipkan pesan pada salah satu anggota
Dewan Pertimbangan Presiden. Kami wanti-wanti betul agar ia menyampaikan dampak
buruk yang diakibatkan pemberlakuan perda ini. Rasanya juga tidak ada hasilnya.
SBY tetap membiarkan perda ini berlaku.
Sebelumnya,
beberapa akademisi dari berbagai latar belakang ilmu (planologi, hukum,
filsafat, arsitek, sosiologi dan lingkungan) juga pernah mencemooh draft
peraturan daerah ini karena terdapat banyak keanehan dalam rumusannya. Mereka
sampai membuat acara bertajuk ‘Mati Ketawa ala Perda’ pada bulan puasa 2007.
Kritik mereka bukan sekedar guyonan kosong, namun di dasarkan pada hasil kajian
terhadap perda ini. Bayangkan, seorang warga kota bisa di denda hingga Rp20
juta hanya karena membeli makanan di kaki lima yang tidak mendapat ijin
pemerintah. Benar-benar sinting. Berikutnya hasil kajian mereka kami lampirkan
dalam gugatan maupun surat penolakan kepada pemerintah. Dukungan juga mengalir
dari lembaga internasional COHRE (Center on Housing Rights and Eviction).
Mereka mengirimkan petisinya kepada pemerintah agar membatalkan perda tersebut.
Mereka juga melampirkan hasil kajian kasus serupa di India. Komisi Nasional
untuk Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) juga sempat melayangkan surat penolakan
yang disertai hasil kajian mereka kepada Depdagri.
Tahun
berganti, pejabat pun berganti. Fauzi Bowo naik menjadi Gubernur DKI. Tak ada
kemajuan apapun untuk masalah ini. Gubernur yang baru cenderung mendiamkan
proses pemberlakuan perda ini terus berjalan dan meloloskannya ke Depdagri.
Akhirnya terpaksa kami menempuh upaya hukum terakhir. Bulan Februari 2008 kami
mengajukan gugatan uji materiil keberatan terhadap perda ini ke MA. Kami
mengantarkan berkas gugatan tersebut dalam sebuah iringan demonstrasi massa
orang miskin ke kantor lembaga tinggi negara ini agar mereka tahu, gugatan ini
adalah harapan jutaan orang miskin di Jakarta.
v Kajian Terhadap Perda Tibum No 8 Tahun 2007
1. Konsideran Perda
Konsideran
Perda 8/2007 tidak mencantumkan UUD 1945 sebagai sumber hukum yang tertinggi.
Selain itu juga tidak mencantumkan UU yang menjamin hak-hak asasi manusia.
Sementara yang akan diatur dalam Perda tersebut berkaitan dengan hak-hak sipil
warga negara. Akibatnya banyak pasal yang jelas-jelas bertentangan dengan UUD 1945
dan Hak asasi manusia. Padahal menurut Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang
Sumber Hukum RI dan Tata Urutan Peraturan Perundangan RI Peraturan Daerah
(Perda) tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang berada di atasnya, dan
UU No.10 Tahun 2004 Pasal 3 :
(1) Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan.
1. Bab I tentang Ketentuan Umum
a. Pengertian Ketertiban Umum sebagaimana
dicantumkan dalam Pasal 1 ayat 5, dan 6 yaitu :
Ø (5). Ketertiban Umum adalah suatu keadaan
dimana Pemerintah dan rakyat dapat melakukan kegiatan secara tertib dan
teratur.
Ø (6). Ketentraman masyarakat adalah suatu
keadaan di mana pemerintah dan rakyat dapat melakukan kegiatan secara tenteram
dan nyaman.
Kami
sepakat dengan pengertian tersebut di atas, akan tetapi setelah kami teliti
secara seksama seluruh isi Perda tersebut tidak ada satu pasal pun yang
menjamin rakyat miskin dapat melakukan kegiatan yang nyaman untuk
mempertahankan hidupnya seperti yang diamanatkan dalam Konstitusi maupun UU HAM
dan Ekosob. Yang ada adalah larangan dan ancaman terhadap rakyat miskin dalam
mempertahankan hidupnya. Apabila isi Perda seperti tersebut diatas, maka
pertanyaannya adalah siapa yang dimaksud dengan ‘rakyat” dalam perda ini?.
Dengan jelas disebutkan dalam pasal-per pasal bagaimana menghabisi orang miskin
di Jakarta, yang merupakan bagian dari Rakyat itu sendiri.
Kalau seperti ini jelas bahwa yang dimaksud
rakyat dalam perda ini adalah “hanya orang-orang yang punya modal” dan
diberikan fasilitas , peluang yang besar bagi mereka untuk berkembang.
b. Keadaan darurat, Perda ini mengartikan
keadaan darurat seperti :
Keadaan
darurat adalah suatu keadaan yang menyebabkan baik orang maupun badan dapat
melakukan tindakan tanpa meminta izin kepada pejabat yang berwenang untuk
melakukan pencegahan, pananganan dan penyelamatan atas bahaya yang mengancam
jiwa manusia.
Pengertian
keadaan darurat seperti tersebut di atas adalah sangat tidak jelas, serta dapat
ditafsirkan secara sewenang-wenang oleh para penguasa terutama aparat Satpol PP
dalam melakukan tindakan represif terhadap rakyat miskin yang dianggap
melanggar ketertiban. Pengertian ini juga dengan jelas menempatkan rakyat
miskin sebagai perusuh yang harus dihilangkan dari Jakarta dengan segala macam
cara.
c. Isi Perda lebih banyak mengatur larangan
orang miskin dalam melakukan usahanya untuk mempertahankan hidupnya.
Ada 20 jenis pekerjaan yang dilarang, antara
lain:
1. Joki 3 in 1
2. Pak Ogah/polisi cepak
3. Tukang Parkir “tidak resmi”
4. Pengamen
5. Tukang Pijat Tradisional
6.
Pengobat
Tradisional
7. Pekerja seks
8. Sopir bajai
9. Sopir bemo
10. Tukang ojek
11. Pedagang asongan
12. Pengelap mobil
13. Pedagang Kaki Lima
14. Pemulung
15. Lapak Pemulung
16. Perakit becak
17. Pengayuh Becak
18. Perakit bemo
19. Calo karcis
20. Pengemis
Dengan
pelarangan ini, maka orang miskin akan menjadi lebih miskin padahal mereka
berusaha melakukan kegiatan/pekerjaan untuk mempertahankan hidupnya secara
mandiri tanpa tergantung pada negara. Seharusnya sudah menjadi kewajiban bagi
negara melindungi mereka.
d. Larangan memanfaatkan ruang publik baik untuk
tempat tinggal maupun usaha:
1. memanfaatkan ruang terbuka dibawah jembatan
layang atau jalan layang,
2. larangan bertempat tinggal dan berusaha
dibantaran kali, sungai, danau, setu,
3. larangan bertampat tinggal dibawah jalan
layang rel kereta api, jembatan tol, jalur hijau, taman, tempay umum
4. larangan berdagang di jalan/trotoar, halte,
jembatan penyebarangan dan tempat umum, pinggir rel, jalur hijau, taman, tempat
umum.
Larangan-larangan
di atas, menunjukan bahwa Jakarta hanya untuk orang kaya, dan bukan untuk
semua. Masalah utamanya adalah tata ruang. Terjadi ketidak adilan dalam
menggunakan ruang yang ada di Jakarta. Kelompok tertentu dengan mudah akan
mendapatkan fasilitas memanfaatkan ruang ada (misalnya jalur hijau menjadi
Hotel, Apartemen, Mall, SPBU, dll) sedangkan orang miskin tidak diakomodir
keberadaannya.
e.
Larangan
penggunaan Sumber Daya Alam. Penggunaan Sumber Daya Alam untuk kesejahteraan
rakyat.
Larangan
penggunaan SDA (air sungai, air tanah, dll), sangat merugikan orang miskin,
karena orang miskin dalam menggunakan sumber daya tersebut hanya untuk
usaha-usaha kecil mereka – misalnya usaha pembuatan tempe atau makanan kecil
lainnya. Hal ini sangat bertentangan dengan fakta di mana permukaan air tanah
semakin menurun akibat “penyerapan” air oleh perusahaan-perusahaan yang berada
i gedung-gedung besar yang notabene bukan milik rakyat miskin.
f. Larangan berempati dengan orang miskin,
antara lain:
1. Larangan memberi uang kepada pengamen
2. Larangan membeli di pedagang asongan atau
kaki lima
3. Larangan menggunakan joki
4. Larangan memberi uang kepada pengemis dan
lain-lain.
Larangan-larangan
memberi maupun menggunakan jasa joki, membeli barang dari pedagang kaki lima
atau asongan jelas bertentangan dengan dasar negara yakni Pancasila sila ke 2
“Kemanusiaan yang adil dan beradab”.
Atas
dasar hal-hal tersebut di atas, maka Departemen Dalam Negeri harus menolak
Perda No.8/2007 dan memerintahkan kepada Pemda DKI Jakarta untuk membuat Perda
Ketertiban Umum yang menjujung tiinggi Hak-hak Asasi Manusia dan tidak
menempatkan orang miskin sebagai musuh dan penyebab ketidaktertiban.
SENIN, 08 OKTOBER 2007
dikutip dari Google
Surat Penolakan Perda 8 /2007 ke Mendagri RI
ALIANSI RAKYAT MISKIN
JCSC, SRMK, LBH APIK, Institute for Ecosoc
Rights, Arus Pelangi, PRP Jakarta, LBH Jakarta, SOMASI UNJ, GMKI Jakarta, YJP,
LPRM, WALHI, SPM, FMN-R, JPM, KPI Jakarta, YSS, KONTRAS, FKW Jakarta, LMND,
SPPR, PAWANG, APKLI
Sekretariat: Jl. Mendut No.3
Menteng Jakarta Pusat Telp 021-3145518; Fax 021-3192377
No :
18/SK-ARM/X/2007
Hal : Penolakan Perda No. 8 tahun 2007
tentang Ketertiban Umum DKI Jakarta
Jakarta, 2 Oktober 2007.
Kepada Yth.
Menteri Dalam Negeri
Republik Indonesia
Bapak Mardiyanto
Di Tempat.
Dengan Hormat,
Pengesahan
Peraturan Daerah (Perda) No. 8 tahun 2007 tentang Ketertiban Umum DKI Jakarta
yang dilakukan DPRD DKI Jakarta sebagai revisi dari Perda No. 11 tahun 1988
tidak layak untuk diberlakukan karena beberapa hal, yaitu:
1. Tidak merujuk pada:
a. UUD Pasal 27 ayat (2) yang menyatakan
bahwa “Tiap-tiap warga negara
berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”;Pasal 28A menyatakan bahwa ‘’Setiap orang berhak untuk hidup
serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya’’; Pasal 28D ayat (2)
menyatakan bahwa ‘’Setiap
orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan
layak dalam hubungan kerja’’; Pasal 28H menyatakan bahwa ‘’(1). Setiap orang berhak hidup
sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup
baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan; (2). Setiap orang mendapat
kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang
sama guna mencapai persamaan dan keadilan’’. Pasal 34 menyatakan
bahwa “ (1). Fakir miskin dan anak-anak yang
terlantar dipelihara oleh negara”; “(2).
Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan
memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat
kemanusiaan”
b. Kovenan
Internasional tentang hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya yang telah
diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No. 11 Tahun 2005, Pasal 6 menyatakan
bahwa ‘’(1). Negara Pihak dari
Kovenan ini mengakui hak atas pekerjaan, termasuk hak semua orang atas
kesempatan untuk mencari nafkah melalui pekerjaan yang dipilih atau diterimanya
secara bebas, dan akan mengambil langkah-langkah yang memadai guna melindungi
hak ini; (2). Langkah-langkah yang akan diambil oleh Negara Pihak pada Kovenan
ini untuk mencapai perwujudan hak ini sepenuhnya, harus meliputi juga bimbingan
teknis dan kejuruan serta program-program pelatihan, kebijakan, dan
teknik-teknik untuk mencapai perkembangan ekonomi, sosial dan budaya yang
mantap serta lapangan kerja yang penuh dan produktif, dengan kondisi-kondisi
yang menjamin kebebasan politik dan ekonomi yang mendasar bagi perorangan’';
Pasal 11 ayat (1) menyatakan bahwa ‘’Negara
Pihak pada Kovenan ini mengakui hak setiap orang atas standar kehidupan yang
layak baginya dan keluarganya, termasuk pangan, sandang dan perumahan, dan atas
perbaikan kondisi hidup terus menerus. Negara Pihak akan mengambil
langkah-langkah yang memadai untuk menjamin perwujudan hak ini dengan mengakui
arti penting kerjasama internasional yang berdasarkan kesepakatan sukarela’’.
c. UU
No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 5 ayat (3) menyatakan dengan
tegas bahwa ‘’Setiap orang
yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan
perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya’’; Pasal 9 ayat (1)menyatakan
bahwa “Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan
meningkatkan taraf kehidupannya; Pasal
38 menyatakan bahwa '’(1).Setiap
warga negara, sesuai dengan bakat, kecakapan, dan kemampuan, berhak atas
pekerjaan yang layak; (2). Setiap
orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak pula
atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil’’.
d. UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Pasal 28 ayat (a) menyatakan bahwa “Kepala
daerah dan wakil kepala daerah dilarang membuat keputusan yang secara khusus
memberikan keuntungan bagi diri, anggota keluarga, kroni, golongan tertentu
atau kelompok politiknya, yang bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan, merugikan kepentingan umum, dan meresahkan sekelompok
masyarakat, atau mendiskriminasikan warga negara dan/atau golongan masyarakat
lain”; Pasal 136 ayat (4) menyatakan bahwa “Perda sebagaimana yang dimaksud
ayat (1) dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi”; Pasal 139 menyatakan bahwa ‘’(1). Masyarakat berhak memberikan
masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan
rancangan Perda; (2). Persiapan
pembentukan, pembahasan, dan pengesahan rancangan Perda berpedoman kepada
peraturan perundang-undangan’’; Pasal 145 ayat (2) menyatakan bahwa “Perda sebagaimana yang dimaksud
pada ayat (1) yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh pemerintah”.
e. UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan Pasal 53 menyatakan bahwa “Masyarakat berhak memberikan
masukan secara lisan atau tertulis
dalam rangka penyiapan atau pemabahasan rancangan undang-undang dan rancangan
peraturan daerah”;
2. Tidak adanya partisipatisi publik
seluas-luasnya dalam penyiapan dan pembahasan rancangan peraturan daerah dan
tidak memberi peluang bagi masyarakat sipil untuk mengakses informasi atas
substansi-substansinya.
3. Substansinya implisit dan eksplisit
tidak mengindahkan keadilan sosial, justru diskriminatif dan represif,
bernuansa memusuhi dan memerangi rakyat miskin karena perda ini selain
mengancam keberadaan dan tempat tinggal rakyat miskin, juga sumber panghasilan
informal, seperti pengamen, pemulung, PKL, pengayuh becak, pengemis, pengelap
mobil, ojek sepeda dan motor, bemo dan bajaj, dokar, transportasi sungai,
tukang parkir, joki three in
one, dan berbagai bentuk kreatif sumber penghasilan lainnya sebagai upaya
untuk bertahan hidup dan pemenuhan kebutuhan yang seharusnya pemerintah
terlebih dahulu mewujudkan jaminan sosial yang riil dan merata kepada rakyat
miskin sebagai suatu kewajiban Negara terhadap rakyatnya. Tidak hanya itu,
rakyat miskin ditutup akses interaksi sosial-ekonomi dari masyarakat kelas
menengah-keatas sama saja dengan membunuh rakyat miskin perlahan. Pada konteks
ini, rakyat miskin ditempatkan secara formal sebagai Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial mengartikan bahwa rakyat miskin sumber masalah
ketidakteraturan atau ketidaktertiban sosial di kota Jakarta sehingga layak ditangkap, ditahan, dan
diusir dari ibu kota Jakarta.
4. Membuka
peluang yang lebih lapang bagi pemerintah provinsi DKI Jakarta beserta
aparaturnya melakukan tindak kekerasan, penyiksaan, dan tindakan tidak
manusiawi lainnya yang selama ini sering digunakan Satuan Polisi Pamong Praja
(Satpol PP) terhadap rakyat miskin. Selain itu, membuka peluang praktik suap,
pungutan liar, dan model korupsi lainnya dari penyidik, yakni Pegawai Negeri
Sipil dan Satpol PP, bahkan Gubernur.
5. Hanya berisi larangan-larangan yang
ditujukan kepada rakyat miskin, bukan solusi ketertiban kota. Dalam perda ini tidak ada
pengaturan dan kewajiban yang ditujukan kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
beserta aparaturnya sebagaimana diatur dalam undang-undang lainnya.
Atas
beberapa hal yang dijadikan letigimasi penolakan ini, kami dari Aliansi Rakyat
Miskin sangat keberatan dan menolak keras pemberlakuan Perda No. 8 tahun 2007
tentang Ketertiban Umum DKI Jakarta. Penolakan tersebut ditujukan kepada
Departemen Dalam Negeri agar membatalkan perda ini karena bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan diatasnya, tidak mengedepankan prinsip hukum untuk
kepentingan umum, diskriminatif, represif, dan melanggar nilai-nilai Hak Asasi
Manusia.
Sepantasnya
masalah kemiskinan harus ditangani terlebih dahulu dengan realisasi jaminan
sosial dari Pemerintah, seperti pendidikan dan kesehatan gratis dan
berkualitas, lapangan pekerjaan, upah layak, perumahan murah dan berkualitas
bagi rakyat, dsb; sejalan dengan amanat undang-undang, kemudian ketertiban
sosial akan tercipta dan segala peraturan tentang ketertiban sosial akan
menjadi layak diberlakukan.
Demikianlah surat ini dibuat. Semoga Bapak memerhatikan
aspirasi kami dengan sungguh-sungguh dan membatalkan Perda No. 8 tahun 2007
tentang Ketertiban Umum DKI Jakarta yang mengancam hak asasi rakyat miskin.
Terima kasih atas perhatiannya.
Hormat
kami,
Heru
Suprapto
Koordinator
BAB III PENUTUP
1.
Kesimpulan
Jika ingin
menjadikan Jakarta sebagai wilayah ibukota negara yang terbebas dari gepeng,
fakir miskin, serta anak jalanan, hal yang sebaiknya dilakukan pemda DKI adalah
memberikan pelatihan kepada mereka agar mereka memiliki keterampilan untuk
bekerja, bukan mengeluarkan peraturan yang justru malah merampas hak – hak
masyarakat untuk membantu sesama – dan menerima bantuan dari sesama.
Karena kanyataan yang terjadi dilapangan, para gepeng,
fakir miskin, serta anak – anak tarlantar yang tertangkap oleh petugas,
bukanlah diberikan bekal pelatihan serta bimbingan pada saat mereka di
karantina, tetapi dari informasi yang saya dapat, sebagian besar dari mereka
justru hanya dipukuli dan diancam akan diperlakukan lebih buruk lagi jika
mereka mengulangi kegiatan mereka sebgai pengemis.
Dari hal tersebut, apakah pantas seorang warga negara
yang seharusnya mendapatkan bimbingan dan arahan agar menjaddi manusia yang
lebih baik dan berguna bagi bangsa dan negara justru malah mendapat perlakuan
tidak menyenangkan serta mendapat intimidasi serta tekanan psikologis yang
mungkin saja akan membuat mereka semakin sulit utuk diatur.
Negara sebagai pemegang amanat dari konstitusi dasar RI
(UUD 1945 dan Pancasila), harus bersikap adil dan bijaksana dalam memperlakukan
serta melindungi hak – hak dasar setiap warga negaranya, tanpa harus melihat
perbedaan ras, suku, agama dan golongan setiap warga negaranya tersebut. Hal
ini merupakan kewajiban dasar negara yang tercantum dalam UUD 1945, yang mana
didalam UUD tersebut berbunyi “fakir miskin dan anak – anak terlantar
dipelihara oleh negara”.
2. Saran
Saran saya tentang perda No. 8 Thn 2007 yang dikeluarkan
oleh PEMDA DKI Jakarta, sebaiknya dikaji dan ditinjau ulang, dan bila perlu
perda tersebut dijadikan mekanisme feedback agar dapat dikeluarkan kembali
menjadi output yang sesuai dengan keadaan pada kenyataannya. Hal ini
dikarenakan Perda tersebut selain tidak sesuai dengan kebutuhan, juga karena
perda tersebut berbenturan dengan UUD 1945, yang merupakan sumber uatama
pembentukan hukum positif yang berlaku di Indonesia setelah Pancasila.
DAFTAR PUSTAKA
Ø Perda
DKI Jakarta N0.8 Tahun 2007 Tentang Ketertiban Umum (Wikipedia)
Ø Johny,
Ibrahim, Teori dan Metodologi Pnelitian Hukum Normatif 2008
Ø UUD
1945
Ø Raharjo,
Satjipto, Ilmu Hukum 2006
Ø Materi
Pembelajaran Kewarganegaraan UNAS oleh Zakaria Yasin
Ø Materi
Pembelajaran Pengantar Ilmu Hukum oleh TB.Ali Asghar
Ø blog/gunawan.perdatibum.com.google
Ø Google
Ø Wikipedia
Ø Yahooanswer
Ø Ask.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar