Kata
Pengantar
Kepegawaian, merupakan suatu
sistem yang pasti ada di setiap negara. Pada dasarnya sistem ini pasti dianut
oleh setiap negara dikarenakan pada setiap negara pasti ada atau memiliki
organisasi – oranisasi atau lembaga – lembaga perekonomian (perusahaan) yang
menunjanjang sektor perekonomian negara.
Dalam setiap negara, perusahaan dibagi menjadi dua macam,
yaitu perusahaan milik pemerintah (BUMN) dan perusahaan milik perorangan atau
kelompok (swasta). Perusahaan milik negara adalah perusahaan yang seluruh aset
atau sebagian besar asetnya dikuassai dan dikelola oleh negara, contohnya
seperti Pertamina dan PLN. Sedangkan, perusahaan swasta adalah perusahaan yang
aset – asetnya dibagi – bagi berdasarkan jumlah saham yang dimiliki, dengan
kata lain, semakin besar jumlah saham maka semakin besar pula suara individu
dalam menentukan kebijakan diperusahaan tersebut.
Dan dalam setiap perusahaa, baik BUMN ataupun Swasta pasti
memiliki karyawan – karyawan yang bertugas untuk menjalankan perusahaan tersebut,
dan pembagian tugas tentu saja berdasarkan divisi penempatan atau bidang masing
– masing karyawan.
Masalah yang akan saya bahas pada makalah ini adalah
tentang sistem kepegawaian di Indonesia yang terus saja bergerak berdasarkan
dinamika lingkungan dan perubahan serta perkembangan pola pikir masyarakat.
Perkembangan yang mengarah pada perubahan apda sistem kepegawaian tersebut
sering kali kita dengar dengan istilah REFORMASI.
DAFTAR
ISI
Bab I
Pembukaan
·
Pendahuluan
·
Latar Belakang
Bab II
Pembahasan
·
Sistem Kepegawaian Pasca Kebijakan Desentralisasi
·
Hambatan dan Tantangan Sistem Kepegawaian
Bab III
Penutup
·
Kesimpulan
·
Daftar Pustaka
Bab
I
PENDAHULUAN
Pada dasarnya, ilmu Adinistrasi Publik dapat diartikan atau
didefinisikan menjadi berbagai macam. Hal itu dikarenakan, begitu banyaknya
para tokoh yang muncul sejak bahkan sebelum Ilmu Administrasi Publik diakui
menjdi sebuah cabang ilmu mandiri (dapat berdiri sendiri), dan hampir setiap
dari keseluruhan tokoh tersebut, memiliki definisi dan penafsiran yang berbeda
tentang ilmu admistrasi public ini.
Dari sekian banyak definisi dan besarnya ruang lingkup ilmu
Administrasi Publik ini, salah satu didalamnya ada pembahasan tentang “sistem
kepegawaian”, Dan didalam sistem kepegawaian ini, masih dapat lebih difokuskan
kembali agar pemusatan dan pemahan terhadap system ini menjadi lebih mendalam
lagi. Itu sebabnya Sistem kepegawaian dalam Administrasi public dibagi kedalam
tiga pembahasan pokok, yaitu : Remunerasi (penggajian), Evaluasi (perubahan), dan
Reformasi (pembaharuan).
Dengan mempelajari masing – masing dari tiga fokus
tersebut, tentunya kita dapat memahami secara keseluruhan apa yang dipelajari
dari system kepegawaian dari sudut pandang Administrasi Publik. Di dalam
makalah ini, saya akan mencoba untuk membahas sedikit mendalam tentang
Reformasi(pembaharuan) dibidang kepegawaian. Berikut saya akan menjelaskan hal
– hal yang memiliki sangkut pautnya terhadap reformasi kepegawaian di
Indonesia, khususnya pada pegawai negeri (PNS).
A. Latar belakang
Reformasi
di bidang kepegawaian yang merupakan konsekuensi dari perubahan di bidang
politik, ekonomi dan sosial yang begitu cepat terjadi sejak paruh pertama tahun
1998 ditandai dengan berlakunya Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang
Pokok-pokok Kepegawaian. Peraturan perundang-undangan yang merupakan perubahan
dan penyempurnaan dari Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 dengan pokok bahasan
yang sama tersebut, kemudian diikuti dengan berbagai peraturan pelaksanaannya,
baik yang berupa Peraturan Pemerintah (PP) maupun Keputusan Presiden (Keppres),
untuk menjamin terlaksananya Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 ini secara baik
dan terarah.
Pada
dasarnya Pegawai Negeri Sipil (PNS) di negara manapun mempunyai tiga peran yang
serupa. Pertama, sebagai pelaksana peraturan dan perundangan yang telah
ditetapkan pemerintah. Untuk mengemban tugas ini, netralitas PNS sangat
diperlukan. Kedua, melakukan fungsi manajemen pelayanan publik. Ukuran
yang dipakai untuk mengevaluasi peran ini adalah seberapa jauh masyarakat puas
atas pelayanan yang diberikan PNS. Apabila tujuan utama otonomi daerah adalah
mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, sehingga desentralisasi dan otonomi
terpusat pada pemerintah kabupaten dan pemerintah kota, maka PNS pada
daerah-daerah tersebut mengerti benar keinginan dan harapan masyarakat
setempat. Ketiga, PNS harus mampu mengelola pemerintahan. Artinya
pelayanan pada pemerintah merupakan fungsi utama PNS. Setiap kebijakan yang
diambil pemerintah harus dapat dimengerti dan dipahami oleh setiap PNS sehingga
dapat dilaksanakan dan disosialisasikan sesuai dengan tujuan kebijakan
tersebut. Dalam hubungan ini maka manajemen dan administrasi PNS harus
dilakukan secara terpusat, meskipun fungsi-fungsi pemerintahan lain telah
diserahkan kepada pemerintah kota dan pemerintah kabupaten dalam rangka otonomi
daerah yang diberlakukan saat ini.
Otonomi
daerah yang telah berlangsung selama lebih dari delapan tahun ini tentunya
memberikan implikasi tertentu pada sistem kepegawaian di Indonesia. Pada mulanya,
sebelum dilaksanakannya era otonomi, sistem kepegawaian terpusat dalam arti
segala kebijakan kepegawaian ada pada pemerintah pusat, daerah hanya menerima
jatah dari pemerintah pusat sesuai dengan permintaan dan ketersediaan pegawai
yang ada di pusat. Dan pegawai dari satu tempat dapat berpindah ke tempat lain
sesuai dengan keputusan atasan, dan hal ini tentunya sangat berbeda dengan
adanya kebijakan desentralisasi yaitu pegawai sulit berpindah antar satu tempat
dengan tempat yang lain. Kebijakan kepegawaian yang demikian tentu saja
memberikan implikasi yang positif maupun negatif bagi sistem kepegawaian dan
kinerja organisasi pada khususnya.
Bab
II
Pembahasan
B. Sistem
Kepegawaian Pasca Kebijakan Desentralisasi
Kinerja
dan keberhasilan Pemerintahan Kabupaten/kota dalam melaksanakan Visi, Misi dan
berbagai Fungsi Pembangunan, peningkatan kemandirian Pemerintahan Daerah serta
menggali berbagai sumber daya alam maupun manusia dalam rangka kesejahteraan
masyarakat dan peningkatan pelayanan kepada masyarakat, sangat dipengaruhi oleh
arus informasi yang terjadi secara lintas organisasi, internal organisasi
maupun eksternal organisasi Pemerintahan. Informasi yang tersedia secara tepat
waktu, tepat tempat dan tepat guna merupakan hal yang mutlak diperlukan dalam
rangka penyusunan kebijaksanaan, pembuatan keputusan dalam berbagai bidang yang
merupakan tugas pokok pemerintahan.
Kepegawaian dalam era otonomi daerah merekomendasikan manajemen
kepegawaian yang diarahkan untuk menjamin penyelenggaraan tugas pemerintahan
dan pembangunan secara berdaya guna dan berhasil guna. Pada era otonomi daerah
ini ditegaskan sistem pembinaan karir tertutup dalam arti negara. Dengan
demikian Pegawai Negeri Sipil dilihat sebagai satu kesatuan, yang hanya berbeda
tempat pekerjaannya. Dalam sistem ini dimungkinkan perpindahan dari
suatuinstansi ke instansi lainnya.
Langkah
Kebijakan
Untuk
mengurangi beban persoalan di bidang
kepegawaian yang timbul sebagai akibat dari pelaksanaan otonomi daerah dan
desentralisasi secara nyata dan luas tersebut, beberapa langkah kebijakan masih
mungkin diusulkan dalam waktu dekat.
1. Penetapan formasi PNS oleh
pemerintah pusat berdasarkan standar analisis kebutuhan pegawai sesuai beban
kerja dan lingkup kerja yang dilakukan. Penetapan formasi ini diikuti pula
dengan penerapan standar dan prosedur pengangkatan dalam jabatan yang berlaku
umum secara nasional. Upaya ini dimaksudkan untuk menghindarka kesenjangan
dikalangan PNS di daerah baik dari segi jumlah, kualitas, kepangkatan maupun
jabatan yang dipangkunya.
2. Sistem evaluasi kinerja PNS yang
didasarkan atas standar prestasi kerja dan kompetensi jabatan. Upaya ini
dimungkinkan bila terdapat sistem dan program seleksi Calon PNS (CPNS) yang
seragam dan mengacu pada “merit sistem”. Untuk itu perlu digunakan alat
bantu komputer (Computer Assisted Test) sehingga obyektifitas dalam
penerimaan CPNS dapat dipertahankan. Terutama untuk seleksi CPNS yang
berpendidikan Sarjana dan Pascasarjana serta profesional.
3. Pengembangan secara bertahap
kemampuan kelembagaan yang menangani kepegawaian di daerah dalam jangka waktu
lima tahun dimulai saat awal pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi.
Sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 159 Tahun 2000, lembaga ini dinamakan
Badan Kepegawaian Daerah (BKD) yang mempunyai hubungan fungsional dan
profesional baik langsung dengan Badan Kepegawaian Negara (BKN) yang ada di
pusat, maupun dengan kantor-kantor regional BKN yang tersebar pada delapan
wilayah kerja dewasa ini.
Kebijakan
pengembangan sumber daya aparatur negara sangat diperlukan bukan saja untuk
menghadapi berbagai perubahan strategik ditingkat nasional dan internasional,
tetapi terlebih lagi untuk mengisi pelaksanaan otonomi daerah. Pada dasarnya
langkah kebijakan tersebut berintikan pada pembangunan SDM aparatur negara yang
professional, netral dari pengaruh kekuatan politik, berwawasan global,
bermoral tinggi, serta mempunyai kemampuan berperan sebagai perekat kesatuan
dan persatuan bangasa serta Negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
C. Hambatan
dan Tantangan Sistem Kepegawaian
Dalam
perkembangan keadaan saat ini, diperkirakan akan timbul berbagai masalah yang menyangkut kepegawaian sebagai dampak berlakunya
otonomi daerah. Dari berbagai permasalahan yang ada, akan menonjol berbagai
persoalan utama yang meliputi
1.
Dengan
adanya desentralisasi kewenangan yang diberikan kepada daerah, ada kemungkinan
jumlah dan struktur PNS di daerah menjadi tidak terkendali. Apalagi bila dalam
pengangkatan pegawai baru dan promosi serta mutasi tidak mengikuti prinsip “merit
sistem” tetapi lebih pada “marriage sistem (sistem kekeluargaan)”
yang dianut oleh pemerintah pusat selama ini. Karena sulit meninggalkan
paradigma lama yang telah berakar selama 33 tahun itu, kewenangan yang besar
kepada daerah tersebut dimungkinkan dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor
96 Tahun 2000 yang memungkinkan Gubernur, Bupati dan Walikota mengangkat dan
memberhentikan PNS di daerahnya mulai dari pangkat I/a sampai dengan golongan
IV/e, Pembina Utama. Suatu kewenangan yang sebelum terbit Peraturan Pemerintah
ini, hanya dimiliki oleh Presiden dan dilakukan secara terpusat.
2.
Kualitas
PNS daerah akan sangat bervariasi antara daerah yang satu dengan daerah
lainnya. Akibat dari kewenangan dalam butir (a) tersebut. Apalagi kalau
mobilitas PNS antar daerah terhambat sebagai akibat dari “Daerah sentrisme”.
Tanpa kualitas memadai serta mobilitas yang tidak dimungkinkan ini, maka
pembinaan karier PNS yang selama ini telah terjaga dan terjamin baik, kemungkinan
besar akan terkorbankan. Apalagi dengan pemerintahan koalisi yang multi partai,
pemimpin pemerintahan di daerah tidak akan terlepas dari “sindrom” kepartaian.
3.
Dalam
waktu lima tahun kedepan, manajemen kepegawaian di daerah masih perlu banyak
pembenahan. Namun sebagai akibat dari butir (b) tersebut kapasitas
kelembagaan daerah untuk menyelenggarakan manajemen kepegawaian ini masih
menjadi pertanyaan besar. Karena manajemen kepegawaian yang baik harus
dilaksanakan oleh suatu badan yang netral, tidak terimbas pengaruh politik dan
tunduk pada salah satu kekuatan politik. Ditambah dengan daya serap daerah yang
masih sangat terbatas, kerancuan dan kekacauan manajemen kepegawaian
diperkirakan menimbulkan masalah sisi lain dari otonomi dan desentralisasi,
apabila manajemen dan administrasi kepegawaian tidak dikembalikan terpusat.
Paling tidak untuk lima tahun kedepan.
Akar
permasalahan buruknya kepegawaian negara di Indonesia pada prinsipnya terdiri
dari dua hal penting:
1. persoalan internal sistem
kepegawaian negara itu sendiri.
2. persoalan eksternal yang
mempengaruhi fungsi dan profesiolisme kepegawaian negara. Dan situasi
problematis terkait dengan persoalan internal sistem kepegawaian dapat
dianalisis dengan memperhatikan subsistem yang membentuk kepegawaian negara.
Subsistem kepegawaian negara terdiri dari:
a. rekrutmen
b. penggajian dan reward
c. pengukuran kinerja
d. promosi jabatan
e. pengawasan.
Kegagalan
pemerintah untuk melakukan reformasi terkait dengan subsistem-subsistem
tersebut telah melahirkan birokrat-birokrat yang dicirikan oleh kerusakan moral
(moral hazard) dan juga kesenjangan kemampuan untuk melakukan tugas dan
tanggungjawabnya (lack of competencies).
Persoalan
rekruitmen merupakan persoalan utama bagi manajemen kepegawaian di Indonesia.
Rekrutmen yang tidak tepat akan berakibat pada pemborosan anggaran dan
menghambat kinerja organisasi untuk waktu yang akan datang. Sistem penggajian
dan reward juga memegang peran yang penting bagi sinergitas organisasi pada
umumnya dan kinerja instansi pada khususnya. Apalagi dengan adanya standar
penilaian kinerja yang harus di-up to date, dalam arti standar penilaian yang
sudah ada (DP3) sudah tidak relevan lagi digunakan untuk seluruh satuan kerja
instansi pemerintah dalam semua lingkup kerja. Standar penilaian kerja perlu diperbaharui
agar sesuai dengan tuntutan dan kemajuan dunia kerja. Promosi jabatan
dengan netralitas kepegawaian sehingga berakibat rasa keadilan bagi seluruh PNS
merupakan salah satu upaya yang dapat mewujudkan kinerja kepegawaian yang
maksimal. Dan persoalan yang tidak kalah penting adalah persoalan pengawasan.
Dalam manajemen kepegawaian, pengawasan dimaksudkan untuk menjamin
berlangsungnya iklim kerja yang kondusif dan responsif terhadap segala jenis
perubahan baik perubahan dari lingkungan internal maupun lingkungan eksternal
organisasi.
Bab
III
Penutup
E. Kesimpulan
Desentralisasi
mensyaratkan pola rekrutmen berada di tangan pemerintah daerah. Namun, hal itu
tentu saja tidak dapat berjalan dengan mulus karena adanya permasalahan yang
ada di daerah. Kesiapan dari daerah merupakan kunci utama untuk menjalankan
sistem kepegawaian yang diserahkan langsung kepada pemerintah daerah. Di sini,
daerah harus bekerja ekstra keras untuk menggali potensi yang ada di daerahnya
terutama potensi sumber daya manusia daerah. Pemerintah daerah harus jeli
melihat peluang dan tantangan yang kemungkinan muncul di suatu daerah tertentu.
Daftar
Pustaka
Artikel lokakarya BAPPENAS
November Tahun 2000
Tidak ada komentar:
Posting Komentar