Selasa, 04 Juni 2013

Dinamika sosial yang disertai oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang makin pesat menyebabkan tidak ada lagi pembatas yang menyulitkan manusia dalam melakukan interaksi dan komunikasi. sehingga lahirlah sebuah istilah yang sering kita sebut globalisasi. Globalisasi mengandung arti terintegrasinya kehidupan nasional ke dalam kehidupan global. dalam bidang ekonomi, misalnya, globalisasi ekonomi berarti terintegrasinya ekonomi nasional kedalam ekonomi dunia atau global (Fakih, 2003:182). Salah satu bentuk terintegrasinya  ekonomi nasional ke dalam ekonomi global ialah dengan adanya liberalisasi ekonomi berupa perdagangan internasional. Perdagangan Internasional dapat diartikan sebagai transaksi dagang antara subyek ekonomi negara yang satu dengan subyek ekonomi negara yang lain, baik mengenai barang ataupun jasa-jasa. Adapun subyek ekonomi yang dimaksud adalah penduduk yang terdiri dari warga negara biasa, perusahaan ekspor, perusahaan impor, perusahaan industri, perusahaan negara ataupun departemen pemerintah yang dapat dilihat dari neraca perdagangan (Sobri, 2000).
Aktivitas perdagangan internasional bukanlah hal yang baru. Namun, sudah berkembang sejak abad XVII yang disebut dengan zaman merkantilis. Salah satu  tokoh yang berpengaruh pada  zaman merkantilis ialah Jean Baptist Colbert. Colbert mengatakan bahwa kemajuan dan kemakmuran sebuah Negara (nation state) sangat tergantung pada ada tidaknya surplus ekspor barang diatas impor barang dalam perdagangan internasional. Dengan bertambahnya surplus, maka diasumsikan negara tersebut akan mendapatkan tambahan logam mulia (emas dan perak) yang menjadi patokan kekayaan, kemajuan, dan kemakmuran sebuah negara (Agustino, 2000:6)
China merupakan salah satu negara yang perekonomian negaranya sebagian besar didukung oleh sektor perdagangan. Bukan hanya didalam negerinya, namun produk-produk China tersebut sudah hampir menguasai sebagian besar pasar-pasar internasional termasuk salah satunya negara Indonesia. Di wilayah Asia Tenggara (ASEAN) China melakukan kerjasama ekonomi yang dinamakan dengan  CAFTA (China Asean Free Trade Agreement), yakni persetujuan perdagangan bebas antara China dengan negara-negara ASEAN. CAFTA ini disepakati oleh China dan enam negara ASEAN seperti Indonesia, malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, dan Brunei Darussalam yang diresmikan di Bandar Seri Begawan, Brunei, pada tanggal 6 November 2001. Masuknya Indonesia sebagai salah satu negara anggota CAFTA tentu menimbulkan kehawatiran bagi para pelaku Usaha Mikro Kecil dan  Menengah (UMKM ) di Indonesia. Karena selain  berampak positif, kebijakan ini pun tentu akan menimbulkan dampak negatif juga terhadap perekonomian nasional.
 Terdapat beberapa pandangan mengenai dampak dari perdagangan internasional atau perdagangan bebas. David Ricardo dengan teori comparative adventage  dan Robert Malthus dengan teori Underconsumption  adalah para pemikir ekonomi klasik yang memberikan pengaruh terhadap perkembangan ekonomi politik.  Ricardo melalui bukunya The Princple of Political Economy and Taxation (1821). Menyatakan bahwa konsep  keunggulan komparatif (comparative adventage) bertumpu pada pemahaman dan penjelasan perdagangan internasional secara umum. Menurut teori ini, negara yang mempunyai produktivitas yang relatif tinggi dalam meghasilkan suatu barang akan memiliki kemampuan atau keunggulan komparatif apabila dibandingkan dengan negara yang hanya mampu berproduksi rendah (Agustino, 2000:13). Sedangkan Menurut Maltus, perkembangan ekonomi tidak hanya harus dikendalikan oleh pemerintah secara langsung dengan pemberian monopoli atau hak-hak khusus tetapi juga dengan kebijakan perencanaan keluarga berencana atau kebijakan   lainnya diluar kebijakan yang sifatnya intervensi langsung pada proses ekonomi (non-economic policy) (Agustino, 2000:13).
 Teori dari David Ricardo dan Robert Malthus yang beraliran  mazhab klasik ini pada dasarnya memiliki maksud yang sama, dimana kegiatan ekonomi yang dilakukan dalam persaingan bebas akan memberi dampak dan manfaat yang positif terhadap masyarakat, dibanding dengan segala sesuatu hal yang ditentukan dan diatur oleh pemerintah. Selain memberikan dampak dan manfaat yang positif pada masyarakat, kebebasan dalam persaingan akan menumbuhkan jiwa kompetitif (competitiveness) dalam setiap diri masyarakat untuk selalu eksis dalam kehidupan perekonomian. Kemudian, pandangan kaum mazhab klasik ini diperkuat ladi oleh teori neoklasik. Menurut teori Neoklasik, globalisasi dan perdagangan bebas dunia akan mengurangi kepincangan dan kesenjangan antara negara maju dengan negara miskin (Deliarnov, 2006:205).Perdagangan bebas dapat diasumsikan sebagai bentuk persaingan bebas, dimana konsekuensi logisnya adalah pemerintah harus menetapkan kebijakan yang membebaskan perdagangan dari intervensi pemerintah.
Pemikiran para tokoh mazhab klasik tersebut memilki relevansi dengan sikap pemerintah Indonesia dalam menyepakati kebijakan  CAFTA. Dimana pemerintah menganggap bahwa kerjasama Indonesia dengan China ini akan menguntungkan kedua belah pihak, baik Indonesia maupun China. Menururt Santhi Margaretha  menyatakan bahwa Ada 3 alasan utama mengapa pemerintah mengambil kesepakatan CAFTA, yakni: Pertama, penurunan dan penghapusan tarif serta hambatan nontarif di China dilihat membuka peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan volume dan nilai perdagangan ke negara yang penduduknya terbesar dan memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia. Kedua, penciptaan rezim investasi yang kompetitif dan terbuka membuka peluang bagi Indonesia untuk menarik lebih banyak investasi dari China. Dan Ketiga, peningkatan kerja sama ekonomi dalam lingkup yang lebih luas membantu Indonesia melakukan peningkatan pembangunan kapasitas, transfer teknologi dan transfer kemampuan managerial.[1] Begitupun dengan China, negara ini memiliki keunggulan kompetitif dari produk-produknya yang salah satu keunggulannya ialah harga produk China lebih murah jika dibandingkan dengan produk-produk Indonesia. Dan Indonesia merupakan salah satu negara yang menjadi pangsa pasar yang produktif bagi China
Namun, pemikiran para tokoh mazhab klasik tersebut sangat bertentangan dengan pandangan kaum strukturalis. Menurut Kaum strukturalis, ekonomi pasar bebas lebih banyak menimbulkan kemiskinan dari pada kemakmuran; meningkatkan angka pengangguran dari pada pencipataan lapangan kerja; menimbulkan ketimpangan dibanding pemerataan; meningkatkan ketidakpastian dari pada stabilitas; menimbulkan ketimpangan budaya dari pada kemajuan (Deliarnov, 2006:79).
Pandangan kaum Strukturalis tersebut sejalan dengan pandangan Eric Maskin sebagai  salah seorang guru besar di Princeton University. Model dari Maskin, pada dasarnya, berangkat dari kerangka mazhab ekonomi klasik tentang persaingan sempurna sebagaimana halnya model keunggulan komparatif dari David Ricardo.  Hasil yang didapatkan dari model Maskin, perluasan perdagangan internasional menyebabkan peningkatan pendapatan pekerja berketrampilan di atas rata-rata dan memperburuk pendapatan pekerja bertrampilan di bawah rata-rata. Atau dengan kata lain, sebagaimana telah dikonfirmasi oleh banyak pengamatan empirik, perdagangan internasional memperburuk kondisi ketimpangan di suatu negara.
Pandangan dari kaum strukturalis dan Eric Maskin tentang perdagangan bebas pada dasarnya memiliki persepsi yang sama. Dimana perdagangan bebas antara dua negara atau lebih akan menyebabkan buruknya stabilitas perekonomian salah satu dari negara tersebut. Dalam kerangka CAFTA, China mengajukan liberalisasi pasar dengan hambatan tarif hingga 0%, namun, dengan keunggulan komparatif dan spesialisasi yang tidak jauh berbeda, sebuah bentuk dominasi dan eksploitasi akan tercipta mengingat China sendiri setidaknya bagi Indonesia dapat dikategorikan sebagai kompetitor utama bagi produk-produk dibidang tekstil, baja, ban, mebel, pengolahan kakao, industri alat kesehatan, kosmetik, aluminium, elektronika, petrokimia hulu, kaca lembaran, sepatu, mesin perkakas, dan kendaraan bermotor.
Belum lagi ditambah dengan segala permasalahan klasik dalam sektor industri di Indonesia seperti tingginya biaya ekonomi yang disertai kendala infrastruktur dimana tidak tersedianya jalan yang memadai dan pasokan listrik yang cukup.  Tidak mengherankan apabila impor produk China mengambil alih 70 persen pangsa pasar domestik Indonesia yang semula dikuasai sektor Usaha Mikro Kecil dan  Menengah (UMKM) pada tahun 2008. Akibatnya, pasar Indonesia dibanjiri produk murah dari China dan menyebabkan pangsa pasar usaha tekstil dan produk terkait (TPT) domestik menurun dari 57 persen pada 2005 menjadi 23 persen pada 2008.[2]
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, defisit perdagangan Indonesia terhadap China terus membengkak. Hal ini terlihat dari meningkatnya impor dari China ke Indonesia, per Maret 2011 yang mencapai Rp 11.645 miliar atau 1,37 miliar dolar AS. Padahal bulan sebelumnya Rp 11. 390 miliar atau sekitar 1,34 miliar dolar AS."Satu-satunya dari 5 (lima) negara besar di ASEAN yang negatif dengan China adalah Indonesia, negara lainnya neraca perdagangannya positif. Negara-negara ASEAN seperti Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina tidak pernah mempermasalahkan adanya kebijakan ACFTA. Pasalnya, negara-negara tersebut merasakan keuntungan dengan adanya perdagangan bebas tersebut.
Kemajuan perekonomian China ialah terletak pada sistem perekonomiannya. Sistem ekonomi China adalah sistem ekonomi campuran (Mixed Economy). Sistem ekonomi campuran (mixed economy) merupakan paduan dua bentuk sistem ekonomi sosialisme dan kapitalisme (Rachbini, 2006:18)  Seperti yang kita ketahui, bahwa China merupakan negara yang berpenduduk kurang lebih 1,9 milyar. Untuk menghasilkan produk yang kompetitif, China menerpakan sistem ekonomi sosialisme. Sosialisme dilihat sebagai suatu sistem ekonomi politik adalah sebuah sistem sosial yang dilandaskan pada prinsip komune atau kebersamaan, dimana pemilikan alat-alat produksi (means of production) dan distribusi adalah bersifat kolektif (Deliarnov, 2006:39). Dalam masyarakat sosialis yang menonjol adalah kebersamaan, dan salah satu bentuknya yang paling ekstrem adalah komunisme, dimana keputuusan-keputusan ekonomi disusun, direncanakan, dan sekaligus dikontrol oleh negara (Deliarnov, 2006:39). Dengan jumlah penduduk yang besar sebagai tenaga kerja masala tersebut, maka China dapat menghasilkan produk-produk yang memiliki harga lebih murah dan dapat berkompetisi di pasar internasional. Selain itu juga, faktor pendukung lainnya ialah tersedianya infrastruktur  dan suprastruktur yang memadai. Kemudian, dalam melakukan pemasaran produknya, China menggunakan sistem ekonomi kapitalisme. Kapitalisme dalam terminologi sistem ekonomi politik didasarkan pada pemilikan individu dan keuntungan pribadi (Rachbini, 2006:14). Oleh karena itu sangat logis jika perekonomian China tumbuh dengan pesat.
Dengan demikian, melalui CAFTA ini tidak akan menguntungkan kedua belah pihak, melainkan akan lebih merugikan bagi  Indonesia. Hal ini terbukti dengan membanjirnya produk-produk China di pasar Indonesia. Jika demikian, maka dapat dikatakan bahwa Indonesia hanya dijadikan sebagai salah satu negara pemasaran produk-produk China.


Rekomendasi Alternatif
Berdasarkan permasalahan CAFTA di Indonesia, maka melalui esssai ini, penulis akan memberikan alternatif  antara lain sebagai berikut:
1.      Pemerintah harus meningkatkan kembali pengelolaan sektor pertanian baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Karena pada kenyataanya sektor agraris adalah sektor yang potensial di Indonesia.
2.      Pemerintah harus berupaya mengurangi impor bahan baku, karena selain tidak memberikan nilai tambah, hal ini justru akan menjadikan Indonesia sebagai pangsa pasar negara-negara maju .
3.      Meningkatkan penghargaan dan pemberdayaan bagi orang Indonesia yang berprestasi melalui pemberian gaji yang optimal. Karena banyak orang Indonesia yang berkompeten lebih nyaman tinggal di luar negeri. Hal ini disebabkan karena apresiasi dari pemerintah Indonesia sangat kurang.
4.      Meningkatkan pembangunan industri-industri agro yang diharapkan mampu memberikan nilai tambah,  menyerap banyak tenaga kerja, dan menjadi industri substitusi impor.
5.      Meningkatkan pembangunan infrastruktur dan suparastruktur untuk mendorong penignkatan investasi.

sumber:http://mitrapustaka.blogspot.com/2011/06/cafta-merupakan-ancaman-terhadap.html