Minggu, 26 Februari 2012

Implementasi Perlindungan Anak di Indonesia


BAB I PENDAHULUAN
1.    Alasan Pemilihan Judul
            Dalam UUD 1945 tercantum sebuah kutipan bahwa setiap warga negara berhak mendapat penghidupan, pendidikan, dan pekerjaan yang layak serta status hukum yang sama dimata hukum. Penulis memilih judul Perlindungan Anak dalam rangka memenuhi tugas Pengantar Ilmu Hukum dikarenakan menurut pandangan penulis masih banyak sekali anak - anak di negeri ini yang tidak mendapatkan hak - hak mereka seperti yang  saya sebutkan diatas. Padahal walaupun masih anak - anak mereka juga merupakan warga negara bangsa ini yang seharusnya juga mendapat perlakuan yang sama dari pemerintah.
            Anak juga merupakan salah satu aset terpinting suatu negara, hal ini dikarenakan merekalah yang nantinya akan menjadi generasi penerus bangsa ini. Mengingat tanggung jawab moral yang akan mereka pikul ketika dewasa nanti, sudah seharusnya mereka mendapatkan sesuatu yang layak di kehidupan mereka, terutama di bidang pendidikan dan perlindungan dari kekerasan.
            Alasan lain yang menjadi landasan penulis membuat makalah dengan judul Perlindungan Anak adalah, karena penulis ingin memberitahukan kepada pihak - pihak yang nantinya akan membaca makalah ini tentang hal - hal apa saja sebenarnya yang menjadi hak - hak dan kewajiban - kewajiban anak, landasan hukum apa dinegeri ini yang melindungi anak, serta perjanjian internasional apa yang menjadi dasar pembentukan lembaga nasional Komisi Perlindungan Anak.





2.    Tujuan Penulisan
v  Menjabarkan hal - hal apa saja yang menjadi hak - hak dan kewajiban - kewajiban anak
v  Menjadi referensi bagi penulis lain yang menulis hal serupa dengan penulis makalah ini
v  Memenuhi tugas Pengantar Ilmu Hukum yang diberikan oleh dosen yang bersangkutan dalam rangka memenuhi nilai tugas pasca mid-test

3.    Perumusan Masalah
v  Landasan hukum apa yang melindungi anak - anak Indonesia?
v  Apa tugas, alasan, dan landasan hukum dibentuknya lembaga nasional Komisi Perlindungan Anak (KPA)?
v  Apa saja hal - hal yang dianggap melanggar UU perlindungan anak?

4.    Metode Penelitian
Dalam membuat makalah ini, penulis menggunakan metode kulitatif dengan cara mengumpulkan data - data baik itu dari buku atau pun sumber dari internet yang berhubungan dengan materi pembahasan makalah ini.

BAB II PEMBAHASAN
            Anak mempunyai hak yang bersifat asasi, sebagaimana yang dimiliki orang dewasa, hak asasi manusia (HAM). Pemberitaan yang menyangkut hak anak tidak segencar sebagaimana hak-hak orang dewasa (HAM) atau isu gender, yang menyangkut hak perempuan. Perlindungan hak anak tidak banyak pihak yang turut memikirkan dan melakukan langkah-langkah kongkrit. Demikian juga upaya untuk melindungi hak-hak anak yang dilanggar yang dilakukan negara, orang dewasa atau bahkan orang tuanya sendiri, tidak begitu menaruh perhatian akan kepentingan masa depan anak.
            Padahal anak merupakan belahan jiwa, gambaran dan cermin masa depan, aset keluarga, agama, bangsa dan negara. Di berbagai negara dan berbagai tempat di negeri ini, anak-anak justru mengalami perlakuan yang tidak semestinya, seperti eksploitasi anak, kekerasan terhadap anak, dijadikan alat pemuas seks, pekerjaanak, diterlantarkan, menjadi anak jalanan dan korban perang/ konflik bersenjata.
            Menurut data yang dikeluarkan UNICEF tahun 1995, diketahui bahwa dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, hampir 2 juta anak-anak tewas, dan 4-5 juta anak-anak cacat hidup akibat perang. Di beberapa negara, seperti Uganda, Myanmar, Ethiopia, Afghanistan dan Guatemala, anak-anak dijadikan peserta tempur (combatan) dengan dikenakan wajib militer. Semua terjadi akibat kedahsyatan mesin perang yang diproduksi negara-negara industri, yang pada akhirnya membawa penderitaan bukan hanya dalam jangka pendek, tetapi juga berakibat pada jangka panjang yang menyangkut masa depan pembangunan bangsa dan negara.
            Demikian juga di negara-negara yang dalam keadaan aman,yang tidak mengalami konflik bersenjata, telah terjadi pelanggaran terhadap hak-hak anak akibat pembangunan ekonomi yang dilakukan, seperti pekerja anak (child labor), anak jalanan (street children), pekerja seks anak (child prostitution), penculikan dan perdagangan anak (child trafficking), kekerasan anak (violation) dan penyiksaan (turtore) terhadap anak.

            Di Indonesia pelanggaran hak-hak anak baik yang tampak mata maupun tidak tampak mata, menjadi pemandangan yang lazim dan biasa diberitakan di media masa, seperti mempekerjakan anak baik di sektor formal, maupun informal, eksploitasi hak-hak anak. Upaya mendorong prestasi yang terlampau memaksakan kehendak pada anak secara berlebihan, atau untuk mengikuti berbagai kegiatan belajar dengan porsi yang melampaui batas kewajaran agar mencapai prestasi seperti yang diinginkan orang tua. Termasuk juga meminta anak menuruti kehendak pihak tertentu (produser) untuk menjadi penyayi atau bintang cilik, dengan kegiatan dan jadwal yang padat, sehingga anak kehilangan dunia anak-anaknya.
            Pada sisi lain sering dijumpai perilaku anak yang diketegorikan sebagai anak nakal atau melakukan pelanggaran hukum, tapi tidakmendapat perlindungan hukum sebagaimana mestinya dalam proses hukum. Hak-hak yang mereka miliki diabaikan begitu saja dengan perlakukan yang tidak manusiawi oleh pihak tertentu, dan kadang kala dimanfaatkan sebagai kesempatan untuk mencari keuntungan diri sendiri, tanpa peduli bahwa perbuatannya telah melanggar hak-hak anak.

Sekilas Pandang Mengenai Perlindungan Anak di Indonesia Menurut Data UNICEF
            Ada beberapa fakta yang cukup memprihatinkan. Diperkirakan sekitar 60 persen anak balita  Indonesia tidak memiliki akte kelahiran. Lebih dari 3 juta anak terlibat dalam pekerjaan yang berbahaya. Bahkan, sekitar sepertiga pekerja seks komersil berumur kurang dari 18 tahun. Sementara 40.000-70.000 anak lainnya telah menjadi korban eksploitasi seksual. Ditambah lagi sekitar 100.000 wanita dan anak-anak diperdagangkan setiap tahunnya. Belum lagi 5.000 anak yang ditahan atau dipenjara dimana 84 persen di antaranya ditempatkan di penjara dewasa.
            Masalah lain yang tak kalah memprihatinkan adalah pelecehan terhadap anak terutama anak-anak dan wanita yang tinggal di daerah konflik atau daerah bekas bencana. Lebih dari 2.000 anak tidak mempunyai orang tua. Secara psikologis anak-anak itu terganggu sesudah bencana tsunami meluluhlantakkan Aceh dan Sumatra Utara pada 26 Desember 2004 silam.
            Seperti halnya anak-anak di belahan dunia lain, anak-anak di Indonesia pun mengalami kekerasan dalam rumah tangga, di jalanan, di sekolah dan di antara teman sebaya mereka. Tapi banyak kasus kekerasan semacam ini tidak terungkap. Atau, hal ini tidak dianggap sebagai kasus kekerasan karena kedua pihak tidak menganggapnya sebagai masalah. Seringkali kekerasan terhadap anak dianggap hal yang lumrah karena secara sosial dipandang sebagai cara pendisiplinan anak. Bahkan di banyak masyarakat, norma sosial dan budaya tidak melindungi atau menghormati anak-anak.
            Kasus kekerasan di Indonesia tidak mencuat karena tidak ada laporan resmi. Hal ini terjadi karena lingkungan budaya yang sudah mengakar. Masyarakat tradisional memang tidak mengakui insiden semacam itu. Buruknya penegakan hukum dan korupsi di kalangan penegak hukum juga membuat kasus-kasus kekerasan semacam itu tidak diselidiki. Akibatnya pelaku tindak kekerasan terhadap anak pun bebas dari jeratan hukum.
Upaya - Upaya UNICEF Dalam Menangani Masalah Perlindungan Anak
            Sebagai lembaga internasional yang dikenal piawai dalam perlindungan anak, program-program UNICEF terfokus pada masalah-masalah pelanggaran, kekerasan, eksploitasi anak dan pencatatan kelahiran.
            Bekerja sama dengan pemerintah Indonesia, UNICEF merumuskan kebijakan-kebijakan perlindungan anak dan implementasi pengesahan anak secara hukum terutama anak yang tinggal di daerah konflik dan bencana.
            UNICEF mendukung perkembangan dan implementasi perundang-undangan, kebijakan dan program-program di tingkat nasional maupun daerah seperti misalnya Undang-undang Perlindungan Anak, Rencana Aksi Nasional terhadap Perdagangan Anak dan kebijakan nasional bagi anak-anak yang terpisah dari keluarganya.
             Program Perlindungan Anak UNICEF juga bermitra dengan masyarakat madani, sektor swasta, aparat penegak hukum, wakil rakyat, pekerja sosial dan anak-anak dalam upaya menciptakan kerangka kerja yang komprehensif. Disamping itu, pencatatan kelahiran untuk semua juga digalakkan untuk mencegah pelanggaran, kekerasan dan eksploitasi terhadap anak-anak.
            Dalam hal ini, UNICEF mendukung pengembangan mekanisme pelaporan pelecehan terhadap anak. Badan ini juga mendorong survei pelanggaran anak-anak di enam kota besar di Indonesia dan penelitian-penelitian di dua kabupaten di daerah timur Indonesia.


1.    Instrumen Hukum
            Instrumen hukum yang mengatur perlindungan hak-hak anak diatur dalam Konvensi PBB tentang Hak-Hak Anak (Convention on The Rights of The Child) th 19893 , telah diratifikasi oleh lebih 191 negara. Indonesia sebagai anggota PBB telah meratifikasi dengan Kepres Nomor 36 th 1990. Dengan demikian Konvensi PBB tentang Hak Anak tersebut telah menjadi hukum Indonesia dan mengikat seluruh warga negara Indonesia.
            Konvensi Hak-Hak Anak merupakan instrumen yang berisi rumusan prinsip-prinsip universal dan ketentuan norma hukummengenai anak. Konvensi Hak Anak merupakan sebuah perjanjian internasional mengenai hak asasi manusia yang memasukan masing-masing hak-hak sipil dan politik, ha-hak ekonomi, sosial dan budaya. Secara garis besar Konvensi Hak Anak dapat dikategorikan sebagai berikut :
1.    Penegasan hak-hak anak
2.    Perlindungan anak oleh negara
3.    Peran serta berbagai pihak
(pemerintah, masyarakat dan swasta) dalam menjamin penghormatan terhadap hak-hak anak. Ketentuan hukum mengenai hak-hak anak dalam Konvensi Hak Anak dapat dikelompokan menjadi:

1.1 Hak terhadap kelangsungan hidup (survival rights)
            Hak kelangsungan hidup berupa hak-hak anak untuk melestarikan dan mempertahankan hidup dan hak untuk memperoleh standar kesehatan tertinggi dan perawatan yang sebaik-baiknya. Konsekwensinya menurut Konvensi Hak Anak negara harus menjamin kelangsungan hak hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan anak (Pasal 6). Disamping itu negara berkewajibanuntuk menjamin hak atas tarap kesehatan tertinggi yang bisa dijangkau, dan melakukan pelayanan kesehatan dan pengobatan, khususnya perawatan kesehatan primer. (Pasal 24).
            Implementasinya dari Pasal 24, negara berkewajiban untuk melaksanakan program-program sebagai berikut :
1.    Melaksanakan upaya penurunan angka kematian bayi dan anak
2.    Menyediakan pelayanan kesehatan yang diperlukan
3.    Memberantas penyakit dan kekurangan gizi
4.    Menyediakan pelayanan kesehatan sebelum dan sesudah melahirkan bagi ibu
5.    Memperoleh imformasi dan akses pada pendidikan dan mendapat dukungan pada pengetahuan dasar tentang kesehatan dan gizi
6.    Mengembangkan perawatan kesehatan pencegahan, bimbingan bagi orang tua, serta penyuluhan keluarga berencana
7.    Mengambil tindakan untuk menghilangkan praktik tradisional yang berprasangka buruk terhadap pelayanan kesehatan

Ø  Terkait dengan itu, hak anak akan kelangsungan hidup dapat berupa :
1.    Hak anak untuk mendapatkan nama dan kewarganegaraan semenjak dilahirkan (Pasal7)
2.    Hak untuk memperoleh perlindungan dan memulihkan kembali aspek dasar jati diri anak (nama, kewargnegaraan dn ikatan keluarga) (Pasal 8)
3.    Hak anak untuk hidup bersama (Pasal 9), dan hak anak untuk memperoleh perlindungan dari segala bentuk salah perlakuan (abuse) yang dilakukan orang tua atau orang lain yang bertangung jawab atas pengasuhan (Pasal 19)
4.    Hak untuk memperoleh perlindungan khusus bagi bagi anak- anak yang kehilangan lingkungan keluarganya dan menjamin pengusahaan keluarga atau penempatan institusional yang sesuai dengan mempertimbangkan latar budaya anak (Pasal 20)
5.    Adopsi anak hanya dibolehkan dan dilakukan demi kepentingan terbaik anak, dengan segala perlindungan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang (Pasal 21)
6.    Hak-hak anak penyandang cacat (disabled) untuk memperoleh pengasuhan, pendidikan dan latihan khusus yang dirancang untuk membantu mereka demi mencapai tingkat kepercayaan diri yang tinggi (Pasal 23)
7.    Hak anak menikmati standar kehidupan yang memadai dan hak atas pendidikan (Pasal 27 dan 28).

1.2 Hak terhadap perlindungan (protection rights)
            Hak perlindungan yaitu perlindungan anak dari diskriminasi, tindak kekerasan dan keterlantaran bagi anak yang tidak mempunyai keluarga, dan bagi anak pengungsi. Hak perlindungan dari diskriminasi, termasuk :
1.    Perlindungan anak penyandang cacat untuk memperoleh pendidikan, perwatan dan latihan khusus
2.    Hak anak dari kelompok masyarakat minoritas dan penduduk asli dalam kehidupan masyarakat negara
Perlindungan dari ekploitasi, meliputi :
1.    Perlindungan dari gangguan kehidupan pribadi
2.    Perlindungan dari keterlibatan dalam pekerjaan yang mengancam kesehatan, pendidikan dan perkembangan anak
3.    Perlindungan dari penyalahgunaan obat bius dan narkoba, perlindungan dari upaya penganiayaan seksual, prostitusi, dan pornografi
4.    Perlindungan upaya penjualan, penyelundupan dan penculikan anak
5.    Perlindungan dari proses hukum bagi anak yang didakwa atau diputus telah melakukan pelanggaran hukum

1.3 Hak untuk Tumbuh Berkembang (development rights)

1.    Hak tumbuh berkembang meliputi segala bentuk pendidikan (formal maupun non formal) dan hak untuk mencapai standar hidup yang layak bagi perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial anak. Hak anak atas pendidikan diatur pada Pasal 28 Konvensi Hak Anak menyebutkan,
2.    Negara menjamin kewajiban pendidikan dasar dan menyediakan secara cuma-Cuma
3.    Mendorong pengembangan macam-macam bentuk pendidikan dan mudah dijangkau oleh setiap anak,
4.    Membuat imformasi dan bimbingan pendidikan dan ketrampIlan bagi anak
5.    Mengambil langkah-langkah untuk mendorong kehadirannya secara teratur di sekolah dan pengurangan angka putus sekolah.

Ø  Terkait dengan itu, juga meliputi :
1.    Hak untuk memperoleh informasi
2.    Hak untuk bermain dan rekreasi
3.    Hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan budaya
4.    Hak untuk kebebasan berpikir dan beragama
5.    Hak untuk mengembangkan kepribadian
6.    Hak untuk memperoleh identitas
7.    Hak untuk didengar pendapatnya
8.    Hak untuk memperoleh pengembangan kesehatandan fisik

1.4 Hak untuk Berpartisipasi (participation rights)
            Hak untuk berpartisipasi yaitu hak untuk menyatakan pendapat dalam segala hal yang mempengaruhi anak. Hak yang terkait dengan itu meliputi
1.    Hak untuk berpendapat dan memperoleh pertimbangan atas pendapatnya
2.    Hak untuk mendapat dan mengetahui informasi serta untuk mengekpresikan
3.    Hak untuk berserikat menjalin hubungan untuk bergabung
4.    Hak untuk memperoleh imformasi yang layak dan terlindung dari informasi yang tidak sehat.
            Terhadap anak yang melakukan perbuatan pidana, penangkapan dan penahanan anak harus sesuai dengan hukum yang ada, yang digunakan hanya sebagai upaya terakhir. Anak yang dicabut kebebasannya harus memperoleh akses bantuan hukum, dan hak melawan keabsahan pencabutan kebebasan.
2.    Implementasi di Indonesia
            Melalui Kepres Nomor 36 tahun 1990, Konvensi Hak Anak telah diratifikasi dan berlaku mengikat menjadi hukum Inodnesia. Melalui ratifikasi tersebut pemerintah Indonesia melakukan reservasi, yakni penundaan pelaksanaan beberapa pasal Konvensi Hak Anak. Dalam perkembangannya pada tahun 1994, pemerintah Indonesia telah melakukan pencabutan reservasi beberapa pasal, sehingga pasal yang direservasi tinggal pasal yang mengatur masalah hak anak untuk mengakses imformasi (Pasal 17), adopsi anak (Pasal 21), perlindungan anak dalam status pengungsi (Pasal 22).
            Konsekuensi dari suatu negara melakukan ratifikasi perjanjian internasional seperti Konvensi Hak Anak, menurut Syahmin AK4 adalah :
1.    Merumuskan/menyatakan atau menguatkan kembali aturan hukum internasional yang sudah ada
2.    Mengubah/menyempurnakan ataupun menghapus kaidah-kaidah hukum internasional yang sudah ada, untuk mengatur tindakan-tindakan yang akan datang
3.    Membentuk kaidah-kaidah hukum internasional yang baru sama sekali yang belum ada sebelumnya.
            Sebagai negara yang telah melakukan ratifikasi Konvensi HakAnak, Indonesia berkewajiban untuk menjamin terlaksananya hak - hak anak dengan menuangkan dalam sebuah produk perundangundangan. Melalui upaya harmonisasi hukum, BPHN merekomendasikan, pertama, mengintroduksir hak-hak anak dalam Konvensi Hak Anak ke dalam perundang-undangan hukum nasional, kedua, peninjauan kembali hukum positif yang tidak sesuai dengan Konvensi Hak anak, dan ketiga, melakukan identifikasi kemungkinan perlunya penyusunan peraturan-perundang-undangan.
            Konsekuensinya menurut Erma Syafwan Syukrie5 , pemerintah Indonesia harus melakukan langkah-langkah harmonisasi hukum, yaitu :
1.    Memeriksa dan menganalisis perundang-undang yang ada dan masih sedang dalam perencanaan/pembentukan
2.    Meninjau ulang lembaga-lembaga yang berhubungan dengan pelaksanaan hak anak
3.     Mengusulkan langkah-langkah penyelerasan ketentuan konvensi hak anak dengan perundang-undangan lain
4.    Meninjau ulang bagian perundang-undangan yang masih berlaku, tetapi perlu penyempurnaan atau pelaksanaan yang tepat
5.    Memprioritaskan acara pembuatan undang-undang yang diperlukan untuk mengefektifkan pelaksanan Konvensi Hak Anak/ penyelerasaan dengan perundang-undangan Indonesia

            Instrumen hukum lain yang mengatur ketentuan hukum terkait dengan hak anak, antara lain ketentuan hukum yang berkaitan dengan hak-hak dan perlindungan anak dengan mendsarkan pada Pasal 34 UUD 45 (lama) yang mengatur pakir miskin dan anak terlantar dipelihara negara. Ketentuan lain ditemukan dalam UU Nomor 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak, khususnya yang berkaitan dengan perlindungan buruh anak di sektor industri formal. Untuk melindungi hak-hak anak yang bekerja telah diatur Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 01 tahun 1987, di antaranya mengatur pencegahan pekerja anak dari upaya eksploitasi anak. Terhadap penyanyi cilik, bintang film cilik Depnaker berusaha untuk mengatur jumlah kontrak yang diperbolehkan.
            Untuk menangani penyelesiaan hukum bagi anak yang terlibat perkara hukum dikeluarkan peradilan yang diatur dalam UUNomor 3 tahun 1997 tentang Peradilan Anak. Terkait dengan itu juga diatur pada beberapa pasal KUHP yang masih dipakai yang mengatur masalah perlindungan hukum bagi anak yang melakukan tindak pidana, seperti Pasal 45, 46 dan 47 KUHP. Menurut UU Nomor 3 tahun 1997, yang dimaksud anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah nikah. Sementara batas umur anak untuk dapat diajukan ke pengadilan ditetapkan antara 8-18 tahun, dan selanjutnya untuk dapat dipidana minimal berumur 12 tahun.
3.    Era Otonomi Daerah
            Pada era Otonomi Daerah, dalam rangka untuk menanggulangi dan melindungi pekerja anak, telah dikeluarkan Kepmen Dagri dan Otda Nomor 5 tahun 2001 tentang Penanggulangan Pekerja Anak (PPA). Salah satu isi pokok adalah melakukan penanggulangan pekerja anak, dengan cara melakukan penghapusan, pengurangan dan perlindungan pekerja anak yang berusia di bawah 15 tahun agar terhindar dari pengaruh buruk pekerjaan berat dan berbahaya, sehingga dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, moral dan intelektual.
            Pemerintah Daerah berkewajiban untuk melakukan langkahlangkah pengaturan lebih lanjut dalam pelaksanaan kegiatan penanggulangan pekerja anak. Menurut Pasal 5 program penanggulangan pekerja anak meliputi :
1.    Melakukan pelarangan dan penghapusan segala bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak
2.    Melakukan pemberian perlindungan yang sesuai bagi pekerja anak yang melakukan pekerjaan ringan
3.    Melakukan perbaikan pendapat keluarga agar anak tidak bekerja dan menciptakan suasana tumbuh kembang anak dengan wajar
4.    Melakukan sosilisasi program PPA kepada pejabat birokrasi, pejabat politik, lembaga kemasyarakatan dan masyarakat
Program yang bersifat khusus dalam penanggulangan pekerja anak meliputi :
1.    Mengajak kembali pekerja anak yang putus sekolah ke bangku sekolah dengan memberikan bantuan beasiswa
2.    Memberikan pendidikan non-formal
3.    Mengadakan pelatihan keterampilan bagi anak
            Pembiayaan kegiatan penanggulanganpekerja anak bisa dilakukan oleh masyarakat yang peduli terhadap kesejahteraan anak, APBN, APBD, bantuan luar negeri dan sumber-sumber lain yang syah dan tidak mengikat.
            Sebagai langkah untuk memberikan perlindungan hak anak secara menyeluruh, sedang diupayakan bentuk legitimasi melalui pembuatan UU Perlindungan Anak. Pada saat sekarang UU Perlindungan Anak sudah ditandatangani oleh pemerintah dan DPR dan tinggal menunggu diundangkan. Beberapa materi yang diatur dalam UU Perlindungan Anak antara lain :
1.    Masalah pemenuhan hak anak dan kewajibannya
2.    Tangung jawab negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua terhadap anak
3.    Perwalian anak
4.    Kuasa asuh
5.    Pengangkatan anak
6.    Perlindungan anak dalam bidang kesehatan, agama, pendidikan, dan sosial
7.    Ketentuan pidana anak.
            Dalam UU Perlindungan anak tersebut, juga diatur persoalan anak yang sedang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas, anak dari korban eksploitasi ekonomi dan seksual, anak yang diperdagangkan, anak korban kerusuhan, anak yang menjadi pengungsi dan anak dalam situasi konflik bersenjata, perlindungan anak yang dilakukan berdasarkan prinsip nondiskriminasi, kepentingan bagi anak, penghargaan terhadap pendapat anak, hak untuk hidup, kelangsungan dan perkembangan.
            Dalam perkembangannya UU Perlindungan anak yang sudah ditandatangani tampaknya masih terdapat masalah, sehingga pengundangannya masih belum ada kejelasan. Beberapa persoalan yang masih menjadi masalah seperti Pasal 37 ayat (3) yakni masalah agama antara orang tua asuh dan anak yang akan diasuh. Di samping itu pada saat bersamaan terdapat ganjalan dari sekelompok masyarakat, seperti Koalisi Perlindungan Anak (KPA) menolak UU Perlindungan Anak, karena dianggap tidak sesuai dengan Konvensi Hak Anak dan Konvensi Internasional Labour Organisation (ILO) Nomor 182 yang telah diratifikasi dengan UU Nomor 1 Tahun 2000.
4.    Dasar Hukum Pembangunan KPA
Nasional :
ü  UUD Tahun 1945 pasal 28B ayat 2
·         Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi
ü  UU No. 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
·         Bantuan dan pelayanan untuk kesejahteraan anak menjadi hak setiap anak tanpa diskriminasi
ü  UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
·         Batas umur anak yang dapat diajukan ke sidang anak adalah sekurang-kurangnya delapan tahun tetapi belum mencapai 18 tahun dan belum kawin
ü  UU No. 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat
·         Hak yang sama untuk menumbuhkembangkan bakat, kemampuan dan kehidupan sosialnya terutama bagi penyandang cacat anak dalam lingkungan keluarga dan masyarakat
ü  UU No. 22 tahun 1997 tentang narkotika
·         Mencegah pelibatan anak dibawah umur dalam penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika
ü  UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
·         Kesehatan anak diselenggarakan untuk mewujudkan pertumbuhan dan perkembangan anak mulai dari dalam kandungan sampai usia sekolah
ü  UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
·         Hak untuk hidup, tumbuh dan berkembang, mendapatkan identitas, pelayanan kesehatan dan pendidikan, berpartisipasi dan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi
ü  UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
·         Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan 15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar
ü  UU NO. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
·         Siapapun dilarang mempekerjakan dan melibatkan anak pada pekerjaan terburuk dalam bentuk perbudakan dan sejenisnya  dan pekerjaan yang memanfaatkan anak untuk pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan porno atau perjudian  
ü  UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
·         Setiap orang yang melihat, mendengar aatau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (suami, isteri, anak dak keluarga lain), wajib melakukan pencegahan, perlindungan, pertolongan darurat dan mrmbantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.
ü  UU No.12 Tahun 2005 tentang kewarganegaraan
·         Anak WNI diluar perkawinan yang syah, belum berusia 18 tahun dan belum kawin diakui secara syah oleh ayahnya yang WNA tetap diakui sebagai WNI
ü  UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan
·         setiap anak berhak atas sebuah nama sebagai identitas yang dituangkan dalam akte kelahiran dan kewarganegaraan
ü  UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Korban
·         Anak didalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah dan temannya
ü  UU No. 21 tahun 2007 tentang PTPPO
·         Setiap orang yang melakukan tindak pidana perdagangan orang dan korbannya adalah anak, maka ancaman pidananya ditambah sepertiga.
ü  RPJMN 2004-2009 (Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2005)
·         Peningkatan kesejahteraan dan perlindungan anak merupakan salah satu dari agenda menciptakan Indonesia yang adil dan demokratis.
ü  RKP 2006 dan RKP 2007
·         Pengarusutamaan anak merupakan salah satu program pembangunan, dan harus dilakukan untuk memastikan kebijakan/program/kegiatan pembangunan peduli/ramah anak.


















Internasional:
-   Convention on the Rights of the Child (CRC) / Konvensi Hak-hak Anak
-   Deklarasi A World Fit for Chidren (WFC)
-   Millenium Development Goals (MDGs)

        Program Nasional Bagi Anak Indonesia (PNBAI) 2015

               Pada Sidang Umum PBB ke-27 Khusus mengenai anak pada tahun 2002 negara-negara peserta telah menyatakan komitmennya dalam deklarasi “Dunia Yang Layak Bagi Anak” (Wold Fit for Children – WFC). Aspek-aspek yang menjadi fokus dalam deklarasi tersebut adalah promosi hidup sehat, penyediaan pendidikan yang berkualitas, perlindungan terhadap perlakuan salah, ekploitasi dan kekerasan, serta penanggulangan HIV/AIDS.
               Bentuk komitmen pemerintah Indonesia terhadap deklarasi tersebut adalah menyusun dokumen Program Nasional Bagi Anak Indonesia (PNBAI) 2015. PNBAI 2015 pada dasarnya merupakan perwujudan dari UUD 1945, khususnya pasal 28B dan 28C. Adapun penetapan sasaran yang hendak dicapai dalam kurun waktu tersebut diserasikan dengan komitmen internasional yang termuat dalam Millenium Development Goals (MDGs). PNBAI 2015 juga merupakan bentuk penetapan dari Konvensi Hak-hak Anak (Convention on the Rights of the Child) yang telah diratifikasi melalui Keppres No. 36 tahun 1990.
               PNBAI 2015 disusun berdasarkan analisis kondisi anak Indonesia yang dalam penyusunannya dikoordinasikan oleh Bappenas dan dilaksanakan  bersama-sama lintas departemen/lembaga pemerintah terkait, dengan masukan dari berbagai organisasi dan lembaga swadaya masyarakat peduli anak, serta perwakilan anak. PNBAI 2015 sebagai dokumen yang menjadi acuan semua pihak yang berkepentingan dan terlibat dalam upaya memperjuangkan kesejahteran dan perlindungan anak.


PNBAI 2015 terdiri dari Visi dan Misi sebagai berikut:
Visi:
*      Anak Indonesia yang sehat, tumbuh dan berkembang, cerdas ceria, berakhlak mulia, terlindungi, dan aktif berpartisipasi.

               Visi ini mengandung harapan bahwa anak-anak Indonesia yang dicita-citakan tidak hanya pandai dan berakhlak, tetapi juga  berani untuk mengeluarkan pendapat, sehat dalam tumbuh kembangnya, serta menikmati masa kanak-kanaknya dengan ceria karena hak-haknya dilindungi. Meskipun demikian, cita-cita di atas harus ditempuh dalam perjalanan yang panjang. Untuk mencapai cita-cita ini, pemerintah mencanangkan misi sebagai berikut.

Misi
1.    Menyediakan pelayanan kesehatan yang komprehensif, merata dan berkualitas, pemenuhan gizi seimbang, pencegahan penyakit menular, termasuk HIV/AIDS, pengembangan lingkungan dan perilaku hidup sehat
2.    Menyediakan pelayanan pendidikan yang merata, bermutu, dan demokratis bagi semua anak sejak usia dini.
3.    Membangun sistem pelayanan sosial dasar dan hukum yang responsif terhadap kebutuhan anak agar dapat melindungi anak dari segala bentuk kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi.
4.    Membangun lingkungan yang kondusif untuk menghargai pendapat anak dan memberi kesempatan untuk berpartisipasi sesuai dengan usia dan tahap perkembangan anak.


Sasaran PNBAI 2015 meliputi:
Di bidang Pendidikan Anak Usia Dini adalah:
Meningkatkan jumlah anak yang mendapatkan layanan PAUD di tahun 2001 dari 28% (7,34 juta jiwa) menjadi 85% (28,97 juta jiwa) di tahun 2015
Meningkatkan jumlah lembaga layanan dari 303.736 (2001) menjadi 12,7 juta (2015)
catatan :
-   Asumsi jumlah kenaikan penduduk usia 0–6 tahun rata-rata 2% per tahun
-   Asumsi kenaikan rata-rata jumlah lembaga adalah 3% per tahun

Di bidang Kesehatan adalah:
·         Menurunkan AKB dan AKBA menjadi 1/3 dari kondisi 2001
·         Menurunkan angka kematian ibu menjadi 1/3 dari kondisi 2001
·         Menurunkan angka kekurangan gizi, terutama bblr dan usia di bawah 2 tahun (variasi 30-50%)
·         Meningkatkan keterjangkauan air bersih dan jamban saniter dalam keluarga sebesar 30%
·         Menyelenggarakan program nasional perkembangan anak usia dini
·         Penyelenggaraan program kesehatan nasional remaja
·         Penyelenggaraan program nasional kesehatan reproduksi
Di bidang Penanggulangan HIV/AIDS adalah:
·         Sampai dengan 90% populasi memperoleh informasi tentang HIV/AIDS dan pencegahannya.
·         100% darah donor bebas kontaminasi HIV
·         80% Ibu hamil dalam perawatan ante-natal memperoleh informasi, konseling HIV, dan perawatan untuk mencegah bayi terinfeksi
·         Setiap ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) memperoleh pengobatan, perawatan, dan dukungan yang dibutuhkan

Di bidang Perlindungan adalah:
               Meningkatkan upaya upaya perlindungan anak Indonesia dari berbagai bentuk perlakuan atau tindakan salah melalui berbagai bidang kegiatan yang meliputi:
A.   Pencegahan
B.   Perlindungan hukum
C.   Pemulihan anak & reintegrasi sosial (keluarga)
D.   Peningkatan koordinasi dan kerjasama baik tingkat lokal, nasional,  
E.   Regional maupun internasional
F.    Peningkatan partisipasi anak

5.    Pembangunan KPA di Daerah, Strategi Pengarusutamaan Hak Anak (PUHA)
A.   Pengertian PUHA
            Dalam upaya meningkatkan pembangunan yang berpihak pada kepentingan terbaik bagi anak, perlu dikembangkan strategi PUHA dengan maksud menjadikan pemenuhan dan perlindungan hak anak sebagai pertimbangan utama dari para pengambil keputusan perencanaan pembangunan di nasional, propinsi dan kabupaten/kota.
            Istilah pengarusutamaan terinspirasi dari Pengarusutamaan Gender (PUG) yang merupakan upaya mengakselerasi terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender dalam semua bidang. Karena itu, dalam membuat definisi PUHA-pun perlu menilik apa yang dimaksud dengan PUG. Definisi PUG yang banyak diacu berasal dari versi    United Nations Economic and Social Council (1997) yakni : “Mengarusutamakan perspektif gender adalah proses memeriksa pengaruh terhadap perempuan dan laki-laki setelah dilaksanakannya sebuah rencana, termasuk legislasi dan program-program, dalam berbagai bidang dan di semua tingkat. Ia adalah sebuah strategi untuk membuat masalah dan pengalaman perempuan maupun laki-laki menjadi bagian yang menyatu dengan rencana, pelaksanaan, pengawasan, dan penilaian kebijakan program dalam semua aspek politik, ekonomi, dan sosial, supaya perempuan dan laki-laki sama-sama mendapatkan manfaatnya dan ketidaksetaraan tidak berlanjut. Tujuan akhirnya adalah kesetaraan gender”. (Sinta R. Dewi, Gender Mainstreaming : Feminisme, Gender, dan Transformasi Institusi, Jurnal Perempuan No. 50, 2006 hal. 13).
            Mengacu pada definisi tersebut, kita dapat memperolah gambaran yang jelas tentang apa yang dimaksud dengan “pengarusutamaan”. Pengarusutamaan merupakan suatu stratagi untuk mencapai tujuan. Sedangkan cakupan pengarusutamaan cukup luas yakni mencakup semua bidang, semua tingkat dan semua aspek manajemen (perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan penilaian).
            Strategi PUHA merupakan salah satu strategi yang telah dimasukan dalam RPJMN 2004-2009. Strategi PUHA diartikan sebagai strategi yang dilakukan secara rasional dan sistematis untuk mencapai perlindungan dan tumbuh kembang anak melalui pengintegrasian hak-hak anak ke dalam penyusunan peraturan perundang-undangan, kebijakan, program, kegiatan dan anggaran, mulai dari tahap perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dengan prinsip kepentingan terbaik bagi anak. PUHA dijadikan sebagai batasan dan pijakan dalam menyusun suatu kebijakan dan program.
            Strategi PUHA mencakup tiga tataran yakni makro, meso dan mikro. Tataran makro adalah perundangan dan kebijakan strategis. Perencanaan dalam program jangka pendek, menengah dan panjang merupakan tataran meso. Pada tataran mikro mencakup kegiatan-kegiatan dan anggaran yang berpihak pada anak.
            PUHA sebagai strategi untuk mencapai perlindungan dan tumbuh kembang anak harus dapat membuktikan bahwa aspek perlindungan dan tumbuh kembang anak benar-benar tercermin dan terpadu dalam empat fungsi utama manajemen program, yaitu :
1.     Perencanaan : menyusun pernyataan atau tujuan yang jelas bagi perlindungan dan tumbuh kembang anak;
2.     Pelaksanaan : memastikan bahwa strategi yang dijelaskan mempunyai dampak pada anak;
3.     Pemantauan : mengukur kemajuan dalam pelaksanaan program dalam hal partisipasi dan manfaat bagi anak;
4.     Penilaian : memastikan bahwa anak benar-benar menjadi terlindungi sebagai hasil prakarsa tersebut.

B. Komponen Pemenuhan Hak Anak
            Pelaksanaan PUHA sebagai strategi pemenuhan dan perlindungan hak anak harus memperhatikan keterkaitan tiga komponen pemenuhan hak anak yakni 1) kebijakan pembangunan; 2) kegiatan perwujudan hak anak; dan 3) keterlibatan dari para pemangku kepentingan.

1.    Kebijakan pembangunan
            Upaya pengembangan kebijakan dibuat untuk mendorong dan melindungi upaya pemenuhan hak anak. Kebijakan publik seyogyanya sensitive terhadap anak, dan mempunyai manfaat positif bagi nasib anak.
      Misalnya :
-      sudah adakah kode etik (code of conduct) yang terkait dengan penegakan hak anak di lingkungan bekerja ?
-      Berapa besar (persentase) anggaran yang dialokasikan bagi program untuk kepentingan terbaik bagi anak, termasuk kegiatan yang mendorong strategi PUHA itu sendiri ?

2.    Kegiatan perwujudan hak anak
      Komponen pemenuhan hak anak merupakan wujud dari berbagai kegiatan sebagai upaya untuk menghilangkan kesenjangan (affirmative actions).
      Manfaat bagi anak selayaknya dipastikan dalam setiap program pembangunan berdasarkan kepentingan terbaik anak dalam menikmati hak mereka.
      Besaran masalah anak menjadi kunci bagi setiap proses pembangunan. Dengan demikian peningkatan pemahaman dan perhatian berbagai pihak terhadap besaran masalah anak perlu menjadi perhatian dalam proses pembangunan dengan cara mengetengahkan data yang dapat dipertanggungjawabkan.
3.    Keterlibatan pemangku kepentingan
            Pemangku kepentingan (pengambil keputusan, baik eksekutif dan legislatief serta masyarakat sipil) harus memiliki pemahaman terhadap hak anak, khususnya yang berkaitan dengan upaya pemenuhan dan perlindungan hak anak. Pemangku kepentingan diharapkan menjadi penggagas dan tokoh kunci dalam proses perencanaan program pembangunan secara berkesinambungan.
            Pemangku kepentingan harus memiliki pengetahuan, sikap dan tindakan (Knowlegde, attitude, Practice/KAP) yang peduli terhadap perwujudan hak anak. KAP yang wajib dimiliki oleh pemangku kepentingan adalah pemahaman terhadap hak anak, khususnya yang berkaitan dengan upaya pemenuhan dan perlindungan hak anak.
            Upaya penguatan kapasitas pemangku kepentingan tidak hanya untuk aparat pemerintah, tetapi termasuk juga pengasuh anak (care givers) dan masyarakat (misalnya LSM peduli anak). Kelompok pemerhati hak anak (Community Based Organization/CBO) perlu dikembangkan partisipasi mereka untuk membantu memastikan efektivitas program pembangunan bagi pemenuhan hak anak, sekaligus mendukung pelaksanaan dan melakukan monitoring dan evaluasi.
            Fokus PUHA tentu saja adalah anak sebagai pemegang hak. Dalam hal ini anak harus didorong untuk berperan aktif dalam memberikan masukan sepanjang proses penyusunan kebijakan, program, kegiatan dan bahkan penganggaran. Anak hendaknya mendapatkan fasilitasi bagi ketersediaan akses dan informasi yang layak sesuai dengan umur dan kematangan anak. Anak juga harus diberikan keterampilan untuk menyalurkan dan menyampaikan ekspresinya, sedemikian rupa sehingga didengarkan, dihargai, dan dipertimbangkan oleh para pengambil keputusan.
            Pemberdayaan dan perlindungan terhadap kelompok anak sendiri perlu dilakukan sebagai konsekuensi dari karakteristik anak itu sendiri sebagai kelompok yang rentan, tidak berdaya dan masih memerlukan perlindungan dari orang dewasa. Jika anak harus diberdayakan maka hal itu bukanlah dalam rangka untuk mensejajarkan  status dan kedudukannya dihadapan orang dewasa, tetapi lebih merupakan upaya perlindungan terhadap hak-haknya yang sering dilanggar orang dewasa. Apalagi jika kelompok anak itu adalah kelompok anak yang masuk kategori memerlukan perlindungan khusus (children in need special protection/cnsp), maka perlakuannyapun bersifat khusus.
            Pemberdayaan pada kelompok anak bertujuan agar anak memahami dan menyadari bahwa mereka memiliki hak-hak yang harus dipenuhi dan diperjuangkan, baik oleh mereka sendiri maupun melalui bantuan orang dewasa. Pemberdayaan ini lebih efektif jika ditujukan pada kelompok-kelompok anak atau anak-anak yang sudah terorganisir dalam suatu kelompok, dan bukan pemberdayaan pada orang perorang. Dengan demikian prasyarat yang berupa kelompok atau organisasi anak menjadi hal yang sangat mendasar. Oleh karena itu pembentukan kelompok-kelompok anak atau organisasi abak harus didorong dan dikembangkan. Organisasi anak tersebut, apapun namanya, akan berfungsi sebagai wadah penyalur aspirasi anggota mereka maupun anak-anak pada umumnya.





C. Tahapan PUHA
            Proses PUHA selalu diawali dengan analisis situasi anak, dilanjutkan dengan perencanaan program,  pelaksanaan dan pemantauan, serta evaluasi program. Setiap tahapan PUHA selalu mempertimbangkan empat prinsip hak anak.

1. Tahap Analisis Situasi Anak
      Tahap analisis situasi anak dimaksudkan untuk menilai besaran masalah dan akar masalah dari setiap isu anak berdasarkan situasi terakhir sehingga dapat dikembangkan berbagai kebijakan dan program yang menjawab kebutuhan pemenuhan hak anak dengan tepat sesuai target pemenuhan hak anak yang disepakati, baik secara internasional, nasional maupun lokal.
Analisis situasi anak dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif.

2.   Tahapan perencanaan
      Tahapan perencanaan meliputi penentuan situasi anak yang akan dicapai (vision) berdasarkan pada kesenjangan pemenuhan hak anak hasil analisis situasi anak pada tahap 1, dan dilanjutkan dengan penentuan prioritas program pembangunan sebagai upaya pemenuhan hak anak yang meliputi penentuan tujuan (outcomes) yang biasanya berupa perubahan KAP, keluaran (outputs) yang mendorong pencapaian outcomes, kegiatan sebagai proses untuk mengubah masukan menjadi keluaran yang berkualitas, dan diakhir dengan pengembangan masukan.
Setiap perencanaan dimulai dengan menentukan hak anak yang akan dipenuhi dari suatu kebijakan, program atau kegiatan yang akan direncanakan.


3.   Pelaksanaan dan pemantauan
      PUHA mensyaratkan pelaksanaan program selalu mempertimbangkan 4 prinsip hak anak dan tidak menempatkan anak pada posisi yang beresiko.
      Situasi anak saat program dikembangkan (baseline data) dan kondisi yang akan dicapai (vision) merupakan informasi penting pada tahap ini.
      Dalam tahap ini, seperangkat indikator perlu dikembangkan sebagai dasar untuk melakukan tinjauan terhadap keberhasilan program perwujudan hak anak.
      Pengembangan indikator berdasarkan hak anak akan membantu pelaksana program melakukan tinjauan efektivitas program dan melakukan peningkatan kualitas sesuai kebutuhan. Target capaian setiap indicator dapat menggunakan nilai yang telah dikembangkan secara nasional dalam PNBAI. Namun setiap daerah dapat pula mengembangkan target indikator sendiri sesuai dengan kemampuan dan kondisi daerahnya masing-masing.
      Keberhasilan strategi PUHA sangat tergantung pada komitmen dan peranserta semua pihak dalam rangka pemenuhan hak anak. Untuk menjamin keberhasilan harus dilakukan pengawasan dan evaluasi secara bersama-sama agar apa yang menjadi tujuan program perlindungan anak bisa tercapai dengan baik.

BAB III PENUTUP
1.    Kesimpulan
            Melihat perhatian masyarakat yang begitu luas, kalangan pemerintah dan DPR berkeyakinan bahwa masukan ataupun kritik masyarakat di satu sisi mempunyai nilai positif untuk perbaikan dalam rangka kesempurnaan UU Perlindungan Anak, karena itu mereka bertekad untuk dapat menggolkan UU perlindungan pada tahun 2002 agar berbagai persoalan yang menyangkut perlindungan anak di Indonesia dapat diatasi dengan segera.

            Dengan adanya UU Perlindungan Anak, diharapkan akan terdapat instrumen hukum yang berfungsi sebagai perekayasa perlindungan anak di Indonesia. Format ke depan yang menyangkut fungsi undang-undang sebagai instrumen social engenering akan segera bisa dilakukan Harapan kita tidak hanya terbatas berhenti pada pembentukan sebuah produk undang-undang, tetapi yang lebih penting bagaimana undang-undnag bisa dijalankan dengan langkah-langkah kongkrit oleh seluruh komponen masyarakat, baik pemerintah, LSM, Ormas dan lembaga lain yang mempunyai kepedulian terhadap perlindungan hak-hak anak.

            Selama ini pemerintah dianggap belum mampu untuk melaksanakan ketentuan perlindungan hak anak, maka peran masyarakat menjadi amat penting untuk turut berpartisipasi, yakni para pihak yang mempunyai kepedualian masa depan anak, baik organisasi keagamaan, yayasan atau LSM. Namun upaya yang dilakukan selama ini belum maksimal, rata-rata baru terbatas program yang sifatnya sektoral dan belum menyentuh hal yang mendasar yang berkaitan dengan perlindungan hak anak.

2.    Saran
v  Pemerintah harus lebih ketat dalam menjalankan segala peraturan - peraturan yang telah dibuat dalam konteks Perlindungan Anak, hal ini dikarenakan menurut saya segala peraturan - peraturan tersebut belum diterapkan secara efisien dikarenakan masih banyak kasus pelanggaran hak - hak anak yang terjadi. Kekerasan terhadap anak agaknya juga memerlukan perhatian yang lebih besar, terutama dalam kasus perdagangan anak dan pengeksploitasian anak. Hal yang tidak kalah penting adalah pendidikan untuk anak - anak kurang mampu dan anak jalanan, hal ini dikarenakan tingkat pendidikan untuk mereka masih sangat rendah, padahal tidak sedikit dari mereka yang memiliki kecerdasan intelektual yang tinggi, dan juga karena mereka adalah generasi - generasi penerus bangsa ini, bagaimana bangsa ini bisa maju jika generasi penerusnya tidak mendapatkan pendidikan secara layak.
v  Perlindungan anak terhadap tindak pidana yang dilakukannya juga merupakan point penting yang harus mendapat perhatian serius dari pemerintah, hal ini dikarenakan terkadang anak tidak tahu hal - hal yang dilakukannya itu melanggar hukum yang berlaku, atau bisa jadi tindak pidana yang mereka lakukan merupakan akibat dari faktor lingkungan pergaulan yang tidak sehat
v  Perlindungan anak bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, hal ini juga menjadi tanggung jawab masyarakat dan keluarga dalam mencegah anak bertindak atau berlaku melanggar tata tertib, terutama anak - anak jalanan yang sangat sedikit sekali mendapatkan bimbingan terhadap segala sesuatu yang mereka lakukan.






DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku :

Fakih, Mansour, 1999, Analisis Gender dan Transformasi Sosial,
Yogyakarta, Pustaka Pelajar.

Muladi, 2002, Demokrasi, Hal Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum
Indonesia, The Jakarta, Habibie Center.

Blau, Peter M dan Mashall W. Meyer, 1987, Birokrasi dalam
Masyarakat Modern, , Jakarta, Penerbit Universitas Indonesia

Ak, Syahmin, 1999, Hukum Internasional Publik dalam M Joni dan
Z Tanamas, Aspek Hukum Perlindungan Anak.

UNICEF, 1999, Aspek Hukum Perlindungan Anak, dalam Perspektif
Konvensi Hak Anak, Bandung, PT Citra Aditya Bakti.

UNICEF, 1990, Convention on The Rights of The Child.

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak.

Sumber Internet :
KPA.go.id
google
Wikipedia
UNICEF.blogspot
MSN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar