BAB I PENDAHULUAN
1.
Alasan
Pemilihan Judul
Dalam UUD 1945 tercantum sebuah
kutipan bahwa setiap warga negara berhak mendapat penghidupan, pendidikan, dan
pekerjaan yang layak serta status hukum yang sama dimata hukum. Penulis memilih
judul Perlindungan Anak dalam rangka memenuhi tugas Pengantar Ilmu Hukum
dikarenakan menurut pandangan penulis masih banyak sekali anak - anak di negeri
ini yang tidak mendapatkan hak - hak mereka seperti yang saya sebutkan diatas. Padahal walaupun masih
anak - anak mereka juga merupakan warga negara bangsa ini yang seharusnya juga
mendapat perlakuan yang sama dari pemerintah.
Anak juga merupakan salah satu aset
terpinting suatu negara, hal ini dikarenakan merekalah yang nantinya akan menjadi
generasi penerus bangsa ini. Mengingat tanggung jawab moral yang akan mereka
pikul ketika dewasa nanti, sudah seharusnya mereka mendapatkan sesuatu yang
layak di kehidupan mereka, terutama di bidang pendidikan dan perlindungan dari
kekerasan.
Alasan lain yang menjadi landasan
penulis membuat makalah dengan judul Perlindungan Anak adalah, karena penulis
ingin memberitahukan kepada pihak - pihak yang nantinya akan membaca makalah
ini tentang hal - hal apa saja sebenarnya yang menjadi hak - hak dan kewajiban
- kewajiban anak, landasan hukum apa dinegeri ini yang melindungi anak, serta
perjanjian internasional apa yang menjadi dasar pembentukan lembaga nasional
Komisi Perlindungan Anak.
2.
Tujuan
Penulisan
v Menjabarkan
hal - hal apa saja yang menjadi hak - hak dan kewajiban - kewajiban anak
v Menjadi
referensi bagi penulis lain yang menulis hal serupa dengan penulis makalah ini
v Memenuhi
tugas Pengantar Ilmu Hukum yang diberikan oleh dosen yang bersangkutan dalam
rangka memenuhi nilai tugas pasca mid-test
3.
Perumusan
Masalah
v Landasan
hukum apa yang melindungi anak - anak Indonesia?
v Apa
tugas, alasan, dan landasan hukum dibentuknya lembaga nasional Komisi
Perlindungan Anak (KPA)?
v Apa
saja hal - hal yang dianggap melanggar UU perlindungan anak?
4.
Metode
Penelitian
Dalam
membuat makalah ini, penulis menggunakan metode kulitatif dengan cara
mengumpulkan data - data baik itu dari buku atau pun sumber dari internet yang
berhubungan dengan materi pembahasan makalah ini.
BAB II PEMBAHASAN
Anak mempunyai hak yang bersifat
asasi, sebagaimana yang dimiliki orang dewasa, hak asasi manusia (HAM).
Pemberitaan yang menyangkut hak anak tidak segencar sebagaimana hak-hak orang dewasa
(HAM) atau isu gender, yang menyangkut hak perempuan. Perlindungan hak anak
tidak banyak pihak yang turut memikirkan dan melakukan langkah-langkah
kongkrit. Demikian juga upaya untuk melindungi hak-hak anak yang dilanggar yang
dilakukan negara, orang dewasa atau bahkan orang tuanya sendiri, tidak begitu
menaruh perhatian akan kepentingan masa depan anak.
Padahal anak merupakan belahan jiwa,
gambaran dan cermin masa depan, aset keluarga, agama, bangsa dan negara. Di
berbagai negara dan berbagai tempat di negeri ini, anak-anak justru mengalami
perlakuan yang tidak semestinya, seperti eksploitasi anak, kekerasan terhadap
anak, dijadikan alat pemuas seks, pekerjaanak, diterlantarkan, menjadi anak
jalanan dan korban perang/ konflik bersenjata.
Menurut data yang dikeluarkan UNICEF
tahun 1995, diketahui bahwa dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, hampir 2
juta anak-anak tewas, dan 4-5 juta anak-anak cacat hidup akibat perang. Di
beberapa negara, seperti Uganda, Myanmar, Ethiopia, Afghanistan dan Guatemala,
anak-anak dijadikan peserta tempur (combatan) dengan dikenakan wajib
militer. Semua terjadi akibat kedahsyatan mesin perang yang diproduksi
negara-negara industri, yang pada akhirnya membawa penderitaan bukan hanya
dalam jangka pendek, tetapi juga berakibat pada jangka panjang yang menyangkut
masa depan pembangunan bangsa dan negara.
Demikian juga di negara-negara yang
dalam keadaan aman,yang tidak mengalami konflik bersenjata, telah terjadi
pelanggaran terhadap hak-hak anak akibat pembangunan ekonomi yang dilakukan,
seperti pekerja anak (child labor), anak jalanan (street children),
pekerja seks anak (child prostitution), penculikan dan perdagangan anak (child
trafficking), kekerasan anak (violation) dan penyiksaan (turtore)
terhadap anak.
Di Indonesia pelanggaran hak-hak
anak baik yang tampak mata maupun tidak tampak mata, menjadi pemandangan yang lazim
dan biasa diberitakan di media masa, seperti mempekerjakan anak baik di sektor
formal, maupun informal, eksploitasi hak-hak anak. Upaya mendorong prestasi
yang terlampau memaksakan kehendak pada anak secara berlebihan, atau untuk
mengikuti berbagai kegiatan belajar dengan porsi yang melampaui batas kewajaran
agar mencapai prestasi seperti yang diinginkan orang tua. Termasuk juga meminta
anak menuruti kehendak pihak tertentu (produser) untuk menjadi penyayi atau
bintang cilik, dengan kegiatan dan jadwal yang padat, sehingga anak kehilangan
dunia anak-anaknya.
Pada sisi lain sering dijumpai
perilaku anak yang diketegorikan sebagai anak nakal atau melakukan pelanggaran
hukum, tapi tidakmendapat perlindungan hukum sebagaimana mestinya dalam proses
hukum. Hak-hak yang mereka miliki diabaikan begitu saja dengan perlakukan yang
tidak manusiawi oleh pihak tertentu, dan kadang kala dimanfaatkan sebagai
kesempatan untuk mencari keuntungan diri sendiri, tanpa peduli bahwa
perbuatannya telah melanggar hak-hak anak.
Sekilas Pandang Mengenai Perlindungan
Anak di Indonesia Menurut Data UNICEF
Ada beberapa fakta yang cukup
memprihatinkan. Diperkirakan sekitar 60 persen anak balita Indonesia
tidak memiliki akte kelahiran. Lebih dari 3 juta anak terlibat dalam pekerjaan
yang berbahaya. Bahkan, sekitar sepertiga pekerja seks komersil berumur kurang
dari 18 tahun. Sementara 40.000-70.000 anak lainnya telah menjadi korban
eksploitasi seksual. Ditambah lagi sekitar 100.000 wanita dan anak-anak
diperdagangkan setiap tahunnya. Belum lagi 5.000 anak yang ditahan atau
dipenjara dimana 84 persen di antaranya ditempatkan di penjara dewasa.
Masalah lain yang tak kalah
memprihatinkan adalah pelecehan terhadap anak terutama anak-anak dan wanita
yang tinggal di daerah konflik atau daerah bekas bencana. Lebih dari 2.000 anak
tidak mempunyai orang tua. Secara psikologis anak-anak itu terganggu sesudah
bencana tsunami meluluhlantakkan Aceh dan Sumatra Utara pada 26 Desember 2004
silam.
Seperti halnya anak-anak di belahan
dunia lain, anak-anak di Indonesia pun mengalami kekerasan dalam rumah tangga,
di jalanan, di sekolah dan di antara teman sebaya mereka. Tapi banyak kasus
kekerasan semacam ini tidak terungkap. Atau, hal ini tidak dianggap sebagai
kasus kekerasan karena kedua pihak tidak menganggapnya sebagai masalah.
Seringkali kekerasan terhadap anak dianggap hal yang lumrah karena secara
sosial dipandang sebagai cara pendisiplinan anak. Bahkan di banyak masyarakat,
norma sosial dan budaya tidak melindungi atau menghormati anak-anak.
Kasus kekerasan di Indonesia tidak
mencuat karena tidak ada laporan resmi. Hal ini terjadi karena lingkungan
budaya yang sudah mengakar. Masyarakat tradisional memang tidak mengakui
insiden semacam itu. Buruknya penegakan hukum dan korupsi di kalangan penegak
hukum juga membuat kasus-kasus kekerasan semacam itu tidak diselidiki. Akibatnya
pelaku tindak kekerasan terhadap anak pun bebas dari jeratan hukum.
Upaya - Upaya UNICEF
Dalam Menangani Masalah Perlindungan Anak
Sebagai lembaga internasional yang
dikenal piawai dalam perlindungan anak, program-program UNICEF terfokus pada
masalah-masalah pelanggaran, kekerasan, eksploitasi anak dan pencatatan
kelahiran.
Bekerja sama dengan pemerintah
Indonesia, UNICEF merumuskan kebijakan-kebijakan perlindungan anak dan
implementasi pengesahan anak secara hukum terutama anak yang tinggal di daerah
konflik dan bencana.
UNICEF mendukung perkembangan dan
implementasi perundang-undangan, kebijakan dan program-program di tingkat
nasional maupun daerah seperti misalnya Undang-undang Perlindungan Anak,
Rencana Aksi Nasional terhadap Perdagangan Anak dan kebijakan nasional bagi
anak-anak yang terpisah dari keluarganya.
Program Perlindungan Anak
UNICEF juga bermitra dengan masyarakat madani, sektor swasta, aparat penegak
hukum, wakil rakyat, pekerja sosial dan anak-anak dalam upaya menciptakan
kerangka kerja yang komprehensif. Disamping itu, pencatatan kelahiran untuk
semua juga digalakkan untuk mencegah pelanggaran, kekerasan dan eksploitasi
terhadap anak-anak.
Dalam hal ini, UNICEF mendukung
pengembangan mekanisme pelaporan pelecehan terhadap anak. Badan ini juga
mendorong survei pelanggaran anak-anak di enam kota besar di Indonesia dan
penelitian-penelitian di dua kabupaten di daerah timur Indonesia.
1.
Instrumen
Hukum
Instrumen hukum yang mengatur
perlindungan hak-hak anak diatur dalam Konvensi PBB tentang Hak-Hak Anak (Convention
on The Rights of The Child) th 19893 , telah diratifikasi oleh lebih
191 negara. Indonesia sebagai anggota PBB telah meratifikasi dengan Kepres
Nomor 36 th 1990. Dengan demikian Konvensi PBB tentang Hak Anak tersebut telah
menjadi hukum Indonesia dan mengikat seluruh warga negara Indonesia.
Konvensi Hak-Hak Anak merupakan
instrumen yang berisi rumusan prinsip-prinsip universal dan ketentuan norma
hukummengenai anak. Konvensi Hak Anak merupakan sebuah perjanjian internasional
mengenai hak asasi manusia yang memasukan masing-masing hak-hak sipil dan
politik, ha-hak ekonomi, sosial dan budaya. Secara garis besar Konvensi Hak
Anak dapat dikategorikan sebagai berikut :
1. Penegasan
hak-hak anak
2. Perlindungan
anak oleh negara
3. Peran
serta berbagai pihak
(pemerintah,
masyarakat dan swasta) dalam menjamin penghormatan terhadap hak-hak anak. Ketentuan
hukum mengenai hak-hak anak dalam Konvensi Hak Anak dapat dikelompokan menjadi:
1.1 Hak terhadap kelangsungan hidup (survival rights)
Hak kelangsungan hidup berupa
hak-hak anak untuk melestarikan dan mempertahankan hidup dan hak untuk
memperoleh standar kesehatan tertinggi dan perawatan yang sebaik-baiknya. Konsekwensinya
menurut Konvensi Hak Anak negara harus menjamin kelangsungan hak hidup,
kelangsungan hidup dan perkembangan anak (Pasal 6). Disamping itu negara
berkewajibanuntuk menjamin hak atas tarap kesehatan tertinggi yang bisa dijangkau,
dan melakukan pelayanan kesehatan dan pengobatan, khususnya perawatan kesehatan
primer. (Pasal 24).
Implementasinya dari Pasal 24,
negara berkewajiban untuk melaksanakan program-program sebagai berikut :
1. Melaksanakan
upaya penurunan angka kematian bayi dan anak
2. Menyediakan
pelayanan kesehatan yang diperlukan
3. Memberantas
penyakit dan kekurangan gizi
4. Menyediakan
pelayanan kesehatan sebelum dan sesudah melahirkan bagi ibu
5. Memperoleh
imformasi dan akses pada pendidikan dan mendapat dukungan pada pengetahuan
dasar tentang kesehatan dan gizi
6. Mengembangkan
perawatan kesehatan pencegahan, bimbingan bagi orang tua, serta penyuluhan
keluarga berencana
7. Mengambil
tindakan untuk menghilangkan praktik tradisional yang berprasangka buruk
terhadap pelayanan kesehatan
Ø Terkait
dengan itu, hak anak akan kelangsungan hidup dapat berupa :
1. Hak
anak untuk mendapatkan nama dan kewarganegaraan semenjak dilahirkan (Pasal7)
2. Hak
untuk memperoleh perlindungan dan memulihkan kembali aspek dasar jati diri anak
(nama, kewargnegaraan dn ikatan keluarga) (Pasal 8)
3. Hak
anak untuk hidup bersama (Pasal 9), dan hak anak untuk memperoleh perlindungan
dari segala bentuk salah perlakuan (abuse) yang dilakukan orang tua atau
orang lain yang bertangung jawab atas pengasuhan (Pasal 19)
4. Hak
untuk memperoleh perlindungan khusus bagi bagi anak- anak yang kehilangan
lingkungan keluarganya dan menjamin pengusahaan keluarga atau penempatan
institusional yang sesuai dengan mempertimbangkan latar budaya anak (Pasal 20)
5. Adopsi
anak hanya dibolehkan dan dilakukan demi kepentingan terbaik anak, dengan
segala perlindungan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang (Pasal 21)
6. Hak-hak
anak penyandang cacat (disabled) untuk memperoleh pengasuhan, pendidikan
dan latihan khusus yang dirancang untuk membantu mereka demi mencapai tingkat
kepercayaan diri yang tinggi (Pasal 23)
7. Hak
anak menikmati standar kehidupan yang memadai dan hak atas pendidikan (Pasal 27
dan 28).
1.2 Hak terhadap perlindungan (protection
rights)
Hak perlindungan yaitu perlindungan
anak dari diskriminasi, tindak kekerasan dan keterlantaran bagi anak yang tidak
mempunyai keluarga, dan bagi anak pengungsi. Hak perlindungan dari
diskriminasi, termasuk :
1. Perlindungan
anak penyandang cacat untuk memperoleh pendidikan, perwatan dan latihan khusus
2. Hak
anak dari kelompok masyarakat minoritas dan penduduk asli dalam kehidupan
masyarakat negara
Perlindungan
dari ekploitasi, meliputi :
1. Perlindungan
dari gangguan kehidupan pribadi
2. Perlindungan
dari keterlibatan dalam pekerjaan yang mengancam kesehatan, pendidikan dan
perkembangan anak
3. Perlindungan
dari penyalahgunaan obat bius dan narkoba, perlindungan dari upaya penganiayaan
seksual, prostitusi, dan pornografi
4. Perlindungan
upaya penjualan, penyelundupan dan penculikan anak
5. Perlindungan
dari proses hukum bagi anak yang didakwa atau diputus telah melakukan
pelanggaran hukum
1.3 Hak untuk Tumbuh Berkembang (development
rights)
1. Hak
tumbuh berkembang meliputi segala bentuk pendidikan (formal maupun non formal)
dan hak untuk mencapai standar hidup yang layak bagi perkembangan fisik,
mental, spiritual, moral dan sosial anak. Hak anak atas pendidikan diatur pada
Pasal 28 Konvensi Hak Anak menyebutkan,
2. Negara
menjamin kewajiban pendidikan dasar dan menyediakan secara cuma-Cuma
3. Mendorong
pengembangan macam-macam bentuk pendidikan dan mudah dijangkau oleh setiap
anak,
4. Membuat
imformasi dan bimbingan pendidikan dan ketrampIlan bagi anak
5. Mengambil
langkah-langkah untuk mendorong kehadirannya secara teratur di sekolah dan
pengurangan angka putus sekolah.
Ø Terkait
dengan itu, juga meliputi :
1. Hak
untuk memperoleh informasi
2. Hak
untuk bermain dan rekreasi
3. Hak
untuk berpartisipasi dalam kegiatan budaya
4. Hak
untuk kebebasan berpikir dan beragama
5. Hak
untuk mengembangkan kepribadian
6. Hak
untuk memperoleh identitas
7. Hak
untuk didengar pendapatnya
8. Hak
untuk memperoleh pengembangan kesehatandan fisik
1.4 Hak untuk Berpartisipasi (participation
rights)
Hak untuk berpartisipasi yaitu hak
untuk menyatakan pendapat dalam segala hal yang mempengaruhi anak. Hak yang
terkait dengan itu meliputi
1. Hak
untuk berpendapat dan memperoleh pertimbangan atas pendapatnya
2. Hak
untuk mendapat dan mengetahui informasi serta untuk mengekpresikan
3. Hak
untuk berserikat menjalin hubungan untuk bergabung
4. Hak
untuk memperoleh imformasi yang layak dan terlindung dari informasi yang tidak
sehat.
Terhadap anak yang melakukan
perbuatan pidana, penangkapan dan penahanan anak harus sesuai dengan hukum yang
ada, yang digunakan hanya sebagai upaya terakhir. Anak yang dicabut
kebebasannya harus memperoleh akses bantuan hukum, dan hak melawan keabsahan
pencabutan kebebasan.
2.
Implementasi
di Indonesia
Melalui Kepres Nomor 36 tahun 1990,
Konvensi Hak Anak telah diratifikasi dan berlaku mengikat menjadi hukum
Inodnesia. Melalui ratifikasi tersebut pemerintah Indonesia melakukan reservasi,
yakni penundaan pelaksanaan beberapa pasal Konvensi Hak Anak. Dalam
perkembangannya pada tahun 1994, pemerintah Indonesia telah melakukan
pencabutan reservasi beberapa pasal, sehingga pasal yang direservasi tinggal
pasal yang mengatur masalah hak anak untuk mengakses imformasi (Pasal 17),
adopsi anak (Pasal 21), perlindungan anak dalam status pengungsi (Pasal 22).
Konsekuensi dari suatu negara
melakukan ratifikasi perjanjian internasional seperti Konvensi Hak Anak,
menurut Syahmin AK4 adalah :
1. Merumuskan/menyatakan
atau menguatkan kembali aturan hukum internasional yang sudah ada
2. Mengubah/menyempurnakan
ataupun menghapus kaidah-kaidah hukum internasional yang sudah ada, untuk
mengatur tindakan-tindakan yang akan datang
3. Membentuk
kaidah-kaidah hukum internasional yang baru sama sekali yang belum ada
sebelumnya.
Sebagai negara yang telah melakukan
ratifikasi Konvensi HakAnak, Indonesia berkewajiban untuk menjamin
terlaksananya hak - hak anak dengan menuangkan dalam sebuah produk
perundangundangan. Melalui upaya harmonisasi hukum, BPHN merekomendasikan, pertama,
mengintroduksir hak-hak anak dalam Konvensi Hak Anak ke dalam
perundang-undangan hukum nasional, kedua, peninjauan kembali hukum
positif yang tidak sesuai dengan Konvensi Hak anak, dan ketiga, melakukan
identifikasi kemungkinan perlunya penyusunan peraturan-perundang-undangan.
Konsekuensinya menurut Erma Syafwan
Syukrie5 , pemerintah Indonesia harus melakukan langkah-langkah harmonisasi
hukum, yaitu :
1. Memeriksa
dan menganalisis perundang-undang yang ada dan masih sedang dalam
perencanaan/pembentukan
2. Meninjau
ulang lembaga-lembaga yang berhubungan dengan pelaksanaan hak anak
3. Mengusulkan langkah-langkah penyelerasan
ketentuan konvensi hak anak dengan perundang-undangan lain
4. Meninjau
ulang bagian perundang-undangan yang masih berlaku, tetapi perlu penyempurnaan
atau pelaksanaan yang tepat
5. Memprioritaskan
acara pembuatan undang-undang yang diperlukan untuk mengefektifkan pelaksanan
Konvensi Hak Anak/ penyelerasaan dengan perundang-undangan Indonesia
Instrumen hukum lain yang mengatur
ketentuan hukum terkait dengan hak anak, antara lain ketentuan hukum yang
berkaitan dengan hak-hak dan perlindungan anak dengan mendsarkan pada Pasal 34
UUD 45 (lama) yang mengatur pakir miskin dan anak terlantar dipelihara negara.
Ketentuan lain ditemukan dalam UU Nomor 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan
anak, khususnya yang berkaitan dengan perlindungan buruh anak di sektor
industri formal. Untuk melindungi hak-hak anak yang bekerja telah diatur Peraturan
Menteri Tenaga Kerja Nomor 01 tahun 1987, di antaranya mengatur pencegahan
pekerja anak dari upaya eksploitasi anak. Terhadap penyanyi cilik, bintang film
cilik Depnaker berusaha untuk mengatur jumlah kontrak yang diperbolehkan.
Untuk menangani penyelesiaan hukum
bagi anak yang terlibat perkara hukum dikeluarkan peradilan yang diatur dalam
UUNomor 3 tahun 1997 tentang Peradilan Anak. Terkait dengan itu juga diatur
pada beberapa pasal KUHP yang masih dipakai yang mengatur masalah perlindungan
hukum bagi anak yang melakukan tindak pidana, seperti Pasal 45, 46 dan 47 KUHP.
Menurut UU Nomor 3 tahun 1997, yang dimaksud anak adalah orang yang dalam perkara
anak nakal telah mencapai umur 8 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun atau
belum pernah nikah. Sementara batas umur anak untuk dapat diajukan ke
pengadilan ditetapkan antara 8-18 tahun, dan selanjutnya untuk dapat dipidana
minimal berumur 12 tahun.
3.
Era
Otonomi Daerah
Pada era Otonomi Daerah, dalam
rangka untuk menanggulangi dan melindungi pekerja anak, telah dikeluarkan
Kepmen Dagri dan Otda Nomor 5 tahun 2001 tentang Penanggulangan Pekerja Anak (PPA).
Salah satu isi pokok adalah melakukan penanggulangan pekerja anak, dengan cara
melakukan penghapusan, pengurangan dan perlindungan pekerja anak yang berusia
di bawah 15 tahun agar terhindar dari pengaruh buruk pekerjaan berat dan
berbahaya, sehingga dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan fisik,
mental, moral dan intelektual.
Pemerintah Daerah berkewajiban untuk
melakukan langkahlangkah pengaturan lebih lanjut dalam pelaksanaan kegiatan
penanggulangan pekerja anak. Menurut Pasal 5 program penanggulangan pekerja
anak meliputi :
1. Melakukan
pelarangan dan penghapusan segala bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak
2. Melakukan
pemberian perlindungan yang sesuai bagi pekerja anak yang melakukan pekerjaan
ringan
3. Melakukan
perbaikan pendapat keluarga agar anak tidak bekerja dan menciptakan suasana
tumbuh kembang anak dengan wajar
4. Melakukan
sosilisasi program PPA kepada pejabat birokrasi, pejabat politik, lembaga
kemasyarakatan dan masyarakat
Program
yang bersifat khusus dalam penanggulangan pekerja anak meliputi :
1. Mengajak
kembali pekerja anak yang putus sekolah ke bangku sekolah dengan memberikan
bantuan beasiswa
2. Memberikan
pendidikan non-formal
3. Mengadakan
pelatihan keterampilan bagi anak
Pembiayaan kegiatan penanggulanganpekerja
anak bisa dilakukan oleh masyarakat yang peduli terhadap kesejahteraan anak,
APBN, APBD, bantuan luar negeri dan sumber-sumber lain yang syah dan tidak
mengikat.
Sebagai langkah untuk memberikan
perlindungan hak anak secara menyeluruh, sedang diupayakan bentuk legitimasi
melalui pembuatan UU Perlindungan Anak. Pada saat sekarang UU Perlindungan Anak
sudah ditandatangani oleh pemerintah dan DPR dan tinggal menunggu diundangkan.
Beberapa materi yang diatur dalam UU Perlindungan Anak antara lain :
1. Masalah
pemenuhan hak anak dan kewajibannya
2. Tangung
jawab negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua terhadap anak
3. Perwalian
anak
4. Kuasa
asuh
5. Pengangkatan
anak
6. Perlindungan
anak dalam bidang kesehatan, agama, pendidikan, dan sosial
7. Ketentuan
pidana anak.
Dalam UU Perlindungan anak tersebut,
juga diatur persoalan anak yang sedang berhadapan dengan hukum, anak dari
kelompok minoritas, anak dari korban eksploitasi ekonomi dan seksual, anak yang
diperdagangkan, anak korban kerusuhan, anak yang menjadi pengungsi dan anak
dalam situasi konflik bersenjata, perlindungan anak yang dilakukan berdasarkan
prinsip nondiskriminasi, kepentingan bagi anak, penghargaan terhadap pendapat
anak, hak untuk hidup, kelangsungan dan perkembangan.
Dalam perkembangannya UU
Perlindungan anak yang sudah ditandatangani tampaknya masih terdapat masalah,
sehingga pengundangannya masih belum ada kejelasan. Beberapa persoalan yang
masih menjadi masalah seperti Pasal 37 ayat (3) yakni masalah agama antara
orang tua asuh dan anak yang akan diasuh. Di samping itu pada saat bersamaan
terdapat ganjalan dari sekelompok masyarakat, seperti Koalisi Perlindungan Anak
(KPA) menolak UU Perlindungan Anak, karena dianggap tidak sesuai dengan
Konvensi Hak Anak dan Konvensi Internasional Labour Organisation (ILO) Nomor
182 yang telah diratifikasi dengan UU Nomor 1 Tahun 2000.
4.
Dasar
Hukum Pembangunan KPA
Nasional :
ü UUD Tahun 1945 pasal 28B ayat 2
·
Setiap anak berhak
atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi
ü UU
No. 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
·
Bantuan dan
pelayanan untuk kesejahteraan anak menjadi hak setiap anak tanpa diskriminasi
ü
UU No.
3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
·
Batas umur anak yang dapat diajukan ke sidang anak
adalah sekurang-kurangnya delapan tahun tetapi belum mencapai 18 tahun dan
belum kawin
ü
UU No.
4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat
·
Hak yang sama untuk menumbuhkembangkan bakat,
kemampuan dan kehidupan sosialnya terutama bagi penyandang cacat anak dalam
lingkungan keluarga dan masyarakat
ü UU
No. 22 tahun 1997 tentang narkotika
·
Mencegah pelibatan anak dibawah umur dalam
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika
ü UU
No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
·
Kesehatan anak
diselenggarakan untuk mewujudkan pertumbuhan dan perkembangan anak mulai dari
dalam kandungan sampai usia sekolah
ü UU
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
·
Hak untuk hidup,
tumbuh dan berkembang, mendapatkan identitas, pelayanan kesehatan dan
pendidikan, berpartisipasi dan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi
ü UU
No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
·
Setiap warga negara
yang berusia tujuh sampai dengan 15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar
ü UU
NO. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
·
Siapapun dilarang
mempekerjakan dan melibatkan anak pada pekerjaan terburuk dalam bentuk
perbudakan dan sejenisnya dan pekerjaan
yang memanfaatkan anak untuk pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan porno
atau perjudian
ü
UU No. 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
·
Setiap orang yang melihat, mendengar aatau
mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (suami, isteri, anak dak
keluarga lain), wajib melakukan pencegahan, perlindungan, pertolongan darurat
dan mrmbantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.
ü
UU
No.12 Tahun 2005 tentang kewarganegaraan
·
Anak WNI diluar perkawinan yang syah, belum berusia
18 tahun dan belum kawin diakui secara syah oleh ayahnya yang WNA tetap diakui
sebagai WNI
ü
UU No. 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan
·
setiap anak berhak atas sebuah nama sebagai
identitas yang dituangkan dalam akte kelahiran dan kewarganegaraan
ü UU
No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Korban
·
Anak didalam dan di
lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh
guru, pengelola sekolah dan temannya
ü UU
No. 21 tahun 2007 tentang PTPPO
·
Setiap orang yang
melakukan tindak pidana perdagangan orang dan korbannya adalah anak, maka
ancaman pidananya ditambah sepertiga.
ü RPJMN
2004-2009 (Peraturan Presiden No. 7
Tahun 2005)
·
Peningkatan
kesejahteraan dan perlindungan anak merupakan salah satu dari agenda
menciptakan Indonesia yang adil dan demokratis.
ü RKP
2006 dan RKP 2007
·
Pengarusutamaan
anak merupakan salah satu program pembangunan, dan harus dilakukan untuk
memastikan kebijakan/program/kegiatan pembangunan peduli/ramah anak.
Internasional:
-
Convention on
the Rights of the Child (CRC) /
Konvensi Hak-hak Anak
-
Deklarasi A
World Fit for Chidren (WFC)
-
Millenium
Development Goals (MDGs)
Program
Nasional Bagi Anak Indonesia (PNBAI) 2015
Pada Sidang Umum PBB ke-27 Khusus mengenai anak pada
tahun 2002 negara-negara peserta telah menyatakan komitmennya dalam deklarasi
“Dunia Yang Layak Bagi Anak” (Wold Fit
for Children – WFC). Aspek-aspek yang menjadi fokus dalam deklarasi
tersebut adalah promosi hidup sehat, penyediaan pendidikan yang berkualitas,
perlindungan terhadap perlakuan salah, ekploitasi dan kekerasan, serta
penanggulangan HIV/AIDS.
Bentuk komitmen pemerintah Indonesia terhadap
deklarasi tersebut adalah menyusun dokumen Program Nasional Bagi Anak Indonesia
(PNBAI) 2015. PNBAI 2015 pada dasarnya merupakan perwujudan dari UUD 1945,
khususnya pasal 28B dan 28C. Adapun penetapan sasaran yang hendak dicapai dalam
kurun waktu tersebut diserasikan dengan komitmen internasional yang termuat
dalam Millenium Development Goals (MDGs).
PNBAI 2015 juga merupakan bentuk penetapan dari Konvensi Hak-hak Anak (Convention on the Rights of the Child) yang
telah diratifikasi melalui Keppres No. 36 tahun 1990.
PNBAI 2015 disusun berdasarkan analisis kondisi anak
Indonesia yang dalam penyusunannya dikoordinasikan oleh Bappenas dan
dilaksanakan bersama-sama lintas
departemen/lembaga pemerintah terkait, dengan masukan dari berbagai organisasi
dan lembaga swadaya masyarakat peduli anak, serta perwakilan anak. PNBAI 2015
sebagai dokumen yang menjadi acuan semua pihak yang berkepentingan dan terlibat
dalam upaya memperjuangkan kesejahteran dan perlindungan anak.
PNBAI 2015 terdiri dari
Visi dan Misi sebagai berikut:
Visi:

Visi
ini mengandung harapan bahwa anak-anak Indonesia yang dicita-citakan tidak
hanya pandai dan berakhlak, tetapi juga
berani untuk mengeluarkan pendapat, sehat dalam tumbuh kembangnya, serta
menikmati masa kanak-kanaknya dengan ceria karena hak-haknya dilindungi.
Meskipun demikian, cita-cita di atas harus ditempuh dalam perjalanan yang
panjang. Untuk mencapai cita-cita ini, pemerintah mencanangkan misi sebagai
berikut.
Misi
1. Menyediakan pelayanan kesehatan yang komprehensif, merata
dan berkualitas, pemenuhan gizi seimbang, pencegahan penyakit menular, termasuk
HIV/AIDS, pengembangan lingkungan dan perilaku hidup sehat
2. Menyediakan pelayanan pendidikan yang merata, bermutu,
dan demokratis bagi semua anak sejak usia dini.
3. Membangun sistem pelayanan sosial dasar dan hukum yang
responsif terhadap kebutuhan anak agar dapat melindungi anak dari segala bentuk
kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi.
4. Membangun lingkungan yang kondusif untuk menghargai
pendapat anak dan memberi kesempatan untuk berpartisipasi sesuai dengan usia
dan tahap perkembangan anak.
Sasaran PNBAI 2015 meliputi:
Di bidang Pendidikan Anak Usia
Dini adalah:
— Meningkatkan jumlah anak yang
mendapatkan layanan PAUD di tahun 2001 dari 28% (7,34 juta jiwa) menjadi 85%
(28,97 juta jiwa) di tahun 2015
— Meningkatkan jumlah lembaga layanan dari 303.736
(2001) menjadi 12,7 juta (2015)
catatan :
- Asumsi jumlah kenaikan penduduk
usia 0–6 tahun rata-rata 2% per tahun
- Asumsi kenaikan rata-rata
jumlah lembaga adalah 3% per tahun
Di bidang
Kesehatan adalah:
·
Menurunkan AKB dan AKBA menjadi 1/3 dari kondisi
2001
·
Menurunkan angka kematian ibu menjadi 1/3 dari
kondisi 2001
·
Menurunkan angka kekurangan gizi, terutama bblr dan
usia di bawah 2 tahun (variasi 30-50%)
·
Meningkatkan keterjangkauan air bersih dan jamban
saniter dalam keluarga sebesar 30%
·
Menyelenggarakan
program nasional perkembangan anak usia dini
·
Penyelenggaraan program kesehatan nasional remaja
·
Penyelenggaraan program nasional kesehatan
reproduksi
Di bidang
Penanggulangan HIV/AIDS adalah:
·
Sampai dengan 90% populasi memperoleh informasi
tentang HIV/AIDS dan pencegahannya.
·
100% darah donor
bebas kontaminasi HIV
·
80% Ibu hamil dalam
perawatan ante-natal memperoleh informasi, konseling HIV, dan perawatan untuk
mencegah bayi terinfeksi
·
Setiap ODHA (Orang
Dengan HIV/AIDS) memperoleh pengobatan, perawatan, dan dukungan yang dibutuhkan
Di bidang Perlindungan adalah:
Meningkatkan
upaya upaya perlindungan anak Indonesia dari berbagai bentuk perlakuan atau
tindakan salah melalui berbagai bidang kegiatan yang meliputi:
A. Pencegahan
B. Perlindungan hukum
C. Pemulihan anak & reintegrasi
sosial (keluarga)
D.
Peningkatan koordinasi dan kerjasama baik tingkat lokal,
nasional,
E.
Regional maupun internasional
F. Peningkatan partisipasi anak
5. Pembangunan
KPA di Daerah, Strategi Pengarusutamaan Hak Anak (PUHA)
A.
Pengertian PUHA
Dalam upaya
meningkatkan pembangunan yang berpihak pada kepentingan terbaik bagi anak,
perlu dikembangkan strategi PUHA dengan maksud menjadikan pemenuhan dan
perlindungan hak anak sebagai pertimbangan utama dari para pengambil keputusan
perencanaan pembangunan di nasional, propinsi dan kabupaten/kota.
Istilah
pengarusutamaan terinspirasi dari Pengarusutamaan Gender (PUG) yang merupakan
upaya mengakselerasi terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender dalam semua
bidang. Karena itu, dalam membuat definisi PUHA-pun perlu menilik apa yang
dimaksud dengan PUG. Definisi PUG yang banyak diacu berasal dari versi United Nations Economic and Social Council
(1997) yakni : “Mengarusutamakan perspektif gender adalah proses memeriksa pengaruh
terhadap perempuan dan laki-laki setelah dilaksanakannya sebuah rencana,
termasuk legislasi dan program-program, dalam berbagai bidang dan di semua
tingkat. Ia adalah sebuah strategi untuk membuat masalah dan pengalaman
perempuan maupun laki-laki menjadi bagian yang menyatu dengan rencana,
pelaksanaan, pengawasan, dan penilaian kebijakan program dalam semua aspek
politik, ekonomi, dan sosial, supaya perempuan dan laki-laki sama-sama
mendapatkan manfaatnya dan ketidaksetaraan tidak berlanjut. Tujuan akhirnya
adalah kesetaraan gender”. (Sinta R. Dewi, Gender Mainstreaming : Feminisme,
Gender, dan Transformasi Institusi, Jurnal Perempuan No. 50, 2006 hal. 13).
Mengacu
pada definisi tersebut, kita dapat memperolah gambaran yang jelas tentang apa
yang dimaksud dengan “pengarusutamaan”. Pengarusutamaan merupakan suatu
stratagi untuk mencapai tujuan. Sedangkan cakupan pengarusutamaan cukup luas
yakni mencakup semua bidang, semua tingkat dan semua aspek manajemen
(perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan penilaian).
Strategi PUHA merupakan salah satu strategi yang telah
dimasukan dalam RPJMN 2004-2009. Strategi PUHA diartikan sebagai strategi yang
dilakukan secara rasional dan sistematis untuk mencapai perlindungan dan tumbuh
kembang anak melalui pengintegrasian hak-hak anak ke dalam penyusunan peraturan
perundang-undangan, kebijakan, program, kegiatan dan anggaran, mulai dari tahap
perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dengan prinsip
kepentingan terbaik bagi anak. PUHA dijadikan sebagai batasan dan pijakan dalam
menyusun suatu kebijakan dan program.
Strategi PUHA mencakup tiga tataran yakni makro, meso dan
mikro. Tataran makro adalah perundangan dan kebijakan strategis. Perencanaan
dalam program jangka pendek, menengah dan panjang merupakan tataran meso. Pada tataran mikro mencakup kegiatan-kegiatan dan
anggaran yang berpihak pada anak.
PUHA sebagai strategi untuk mencapai perlindungan dan
tumbuh kembang anak harus dapat membuktikan bahwa aspek perlindungan dan tumbuh
kembang anak benar-benar tercermin dan terpadu dalam empat fungsi utama
manajemen program, yaitu :
1. Perencanaan : menyusun pernyataan atau tujuan yang jelas
bagi perlindungan dan tumbuh kembang anak;
2. Pelaksanaan : memastikan bahwa strategi yang dijelaskan
mempunyai dampak pada anak;
3. Pemantauan : mengukur kemajuan dalam pelaksanaan program
dalam hal partisipasi dan manfaat bagi anak;
4. Penilaian : memastikan bahwa anak benar-benar menjadi
terlindungi sebagai hasil prakarsa tersebut.
B.
Komponen Pemenuhan Hak Anak
Pelaksanaan
PUHA sebagai strategi pemenuhan dan perlindungan hak anak harus memperhatikan
keterkaitan tiga komponen pemenuhan hak anak yakni 1) kebijakan pembangunan; 2)
kegiatan perwujudan hak anak; dan 3) keterlibatan dari para pemangku
kepentingan.
1. Kebijakan
pembangunan
Upaya pengembangan
kebijakan dibuat untuk mendorong dan melindungi upaya pemenuhan hak anak.
Kebijakan publik seyogyanya sensitive terhadap anak, dan mempunyai manfaat
positif bagi nasib anak.
Misalnya :
-
sudah adakah kode etik (code of conduct) yang
terkait dengan penegakan hak anak di lingkungan bekerja ?
-
Berapa besar (persentase) anggaran yang
dialokasikan bagi program untuk kepentingan terbaik bagi anak, termasuk
kegiatan yang mendorong strategi PUHA itu sendiri ?
2. Kegiatan
perwujudan hak anak
Komponen pemenuhan hak anak merupakan
wujud dari berbagai kegiatan sebagai upaya untuk menghilangkan kesenjangan (affirmative
actions).
Manfaat bagi anak selayaknya dipastikan
dalam setiap program pembangunan berdasarkan kepentingan terbaik anak dalam
menikmati hak mereka.
Besaran masalah anak menjadi kunci bagi
setiap proses pembangunan. Dengan demikian peningkatan pemahaman dan perhatian
berbagai pihak terhadap besaran masalah anak perlu menjadi perhatian dalam
proses pembangunan dengan cara mengetengahkan data yang dapat dipertanggungjawabkan.
3. Keterlibatan
pemangku kepentingan
Pemangku
kepentingan (pengambil keputusan, baik eksekutif dan legislatief serta
masyarakat sipil) harus memiliki pemahaman terhadap hak anak, khususnya yang
berkaitan dengan upaya pemenuhan dan perlindungan hak anak. Pemangku
kepentingan diharapkan menjadi penggagas dan tokoh kunci dalam proses
perencanaan program pembangunan
secara berkesinambungan.
Pemangku
kepentingan harus memiliki pengetahuan, sikap dan tindakan (Knowlegde,
attitude, Practice/KAP) yang peduli terhadap perwujudan hak anak. KAP
yang wajib dimiliki oleh pemangku kepentingan adalah pemahaman terhadap hak
anak, khususnya yang berkaitan dengan upaya pemenuhan dan perlindungan hak
anak.
Upaya
penguatan kapasitas pemangku kepentingan tidak hanya untuk aparat pemerintah,
tetapi termasuk juga pengasuh anak (care givers) dan masyarakat
(misalnya LSM peduli anak). Kelompok pemerhati hak anak (Community Based Organization/CBO) perlu dikembangkan partisipasi
mereka untuk membantu memastikan efektivitas program pembangunan bagi pemenuhan
hak anak, sekaligus mendukung pelaksanaan dan melakukan monitoring dan evaluasi.
Fokus
PUHA tentu saja adalah anak sebagai pemegang hak. Dalam hal ini anak harus
didorong untuk berperan aktif dalam memberikan masukan sepanjang proses
penyusunan kebijakan, program, kegiatan dan bahkan penganggaran. Anak hendaknya
mendapatkan fasilitasi bagi ketersediaan akses dan informasi yang layak sesuai
dengan umur dan kematangan anak. Anak juga harus diberikan keterampilan untuk
menyalurkan dan menyampaikan ekspresinya, sedemikian rupa sehingga didengarkan,
dihargai, dan dipertimbangkan
oleh para pengambil keputusan.
Pemberdayaan
dan perlindungan terhadap kelompok anak sendiri perlu dilakukan sebagai
konsekuensi dari karakteristik anak itu sendiri sebagai kelompok yang rentan,
tidak berdaya dan masih memerlukan perlindungan dari orang dewasa. Jika anak
harus diberdayakan maka hal itu bukanlah dalam rangka untuk mensejajarkan status dan kedudukannya dihadapan orang
dewasa, tetapi lebih merupakan upaya perlindungan terhadap hak-haknya yang
sering dilanggar orang dewasa. Apalagi jika kelompok anak itu adalah kelompok
anak yang masuk kategori memerlukan perlindungan khusus (children in need
special protection/cnsp), maka perlakuannyapun
bersifat khusus.
Pemberdayaan
pada kelompok anak bertujuan agar anak memahami dan menyadari bahwa mereka
memiliki hak-hak yang harus dipenuhi dan diperjuangkan, baik oleh mereka
sendiri maupun melalui bantuan orang dewasa. Pemberdayaan ini lebih efektif
jika ditujukan pada kelompok-kelompok anak atau anak-anak yang sudah
terorganisir dalam suatu kelompok, dan bukan pemberdayaan pada orang perorang.
Dengan demikian prasyarat yang berupa kelompok atau organisasi anak menjadi hal
yang sangat mendasar. Oleh karena itu pembentukan kelompok-kelompok anak atau
organisasi abak harus didorong dan dikembangkan. Organisasi anak tersebut,
apapun namanya, akan berfungsi sebagai wadah penyalur aspirasi anggota mereka
maupun anak-anak pada umumnya.
C. Tahapan PUHA
Proses PUHA selalu diawali dengan
analisis situasi anak, dilanjutkan dengan perencanaan program, pelaksanaan dan pemantauan, serta evaluasi
program. Setiap tahapan PUHA selalu mempertimbangkan empat prinsip hak anak.
1. Tahap Analisis Situasi Anak
Tahap analisis situasi anak dimaksudkan untuk
menilai besaran masalah dan akar masalah dari setiap isu anak berdasarkan
situasi terakhir sehingga dapat dikembangkan berbagai kebijakan dan program
yang menjawab kebutuhan pemenuhan hak anak dengan tepat sesuai target pemenuhan
hak anak yang disepakati, baik secara internasional, nasional maupun lokal.
Analisis
situasi anak dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif.
2. Tahapan perencanaan
Tahapan perencanaan meliputi penentuan
situasi anak yang akan dicapai (vision) berdasarkan pada kesenjangan pemenuhan
hak anak hasil analisis situasi anak pada tahap 1, dan dilanjutkan dengan
penentuan prioritas program pembangunan sebagai upaya pemenuhan hak anak yang
meliputi penentuan tujuan (outcomes) yang biasanya berupa
perubahan KAP, keluaran (outputs) yang mendorong pencapaian
outcomes, kegiatan sebagai proses untuk mengubah masukan menjadi keluaran yang
berkualitas, dan diakhir dengan pengembangan masukan.
Setiap
perencanaan dimulai dengan menentukan hak anak yang akan dipenuhi dari suatu
kebijakan, program atau kegiatan yang akan direncanakan.
3. Pelaksanaan dan pemantauan
PUHA mensyaratkan pelaksanaan program selalu
mempertimbangkan 4 prinsip hak anak dan tidak menempatkan anak pada posisi yang
beresiko.
Situasi anak saat program dikembangkan
(baseline data) dan kondisi yang akan dicapai (vision) merupakan informasi
penting pada tahap ini.
Dalam tahap ini, seperangkat indikator
perlu dikembangkan sebagai dasar untuk melakukan tinjauan terhadap keberhasilan
program perwujudan hak anak.
Pengembangan indikator berdasarkan hak anak
akan membantu pelaksana program melakukan tinjauan efektivitas program dan
melakukan peningkatan kualitas sesuai kebutuhan. Target capaian setiap
indicator dapat menggunakan nilai yang telah dikembangkan secara nasional dalam
PNBAI. Namun setiap daerah dapat pula mengembangkan target indikator sendiri
sesuai dengan kemampuan dan kondisi daerahnya masing-masing.
Keberhasilan strategi PUHA sangat tergantung
pada komitmen dan peranserta semua pihak dalam rangka pemenuhan hak anak. Untuk
menjamin keberhasilan harus dilakukan pengawasan dan evaluasi secara
bersama-sama agar apa yang menjadi tujuan program perlindungan anak bisa
tercapai dengan baik.
BAB III PENUTUP
1.
Kesimpulan
Melihat
perhatian masyarakat yang begitu luas, kalangan pemerintah dan DPR berkeyakinan
bahwa masukan ataupun kritik masyarakat di satu sisi mempunyai nilai positif
untuk perbaikan dalam rangka kesempurnaan UU Perlindungan Anak, karena itu mereka
bertekad untuk dapat menggolkan UU perlindungan pada tahun 2002 agar berbagai
persoalan yang menyangkut perlindungan anak di Indonesia dapat diatasi dengan
segera.
Dengan adanya
UU Perlindungan Anak, diharapkan akan terdapat instrumen hukum yang berfungsi
sebagai perekayasa perlindungan anak di Indonesia. Format ke depan yang
menyangkut fungsi undang-undang sebagai instrumen social engenering akan
segera bisa dilakukan Harapan kita tidak hanya terbatas berhenti pada
pembentukan sebuah produk undang-undang, tetapi yang lebih penting bagaimana
undang-undnag bisa dijalankan dengan langkah-langkah kongkrit oleh seluruh
komponen masyarakat, baik pemerintah, LSM, Ormas dan lembaga lain yang
mempunyai kepedulian terhadap perlindungan hak-hak anak.
Selama ini
pemerintah dianggap belum mampu untuk melaksanakan ketentuan perlindungan hak
anak, maka peran masyarakat menjadi amat penting untuk turut berpartisipasi,
yakni para pihak yang mempunyai kepedualian masa depan anak, baik organisasi
keagamaan, yayasan atau LSM. Namun upaya yang dilakukan selama ini belum
maksimal, rata-rata baru terbatas program yang sifatnya sektoral dan belum
menyentuh hal yang mendasar yang berkaitan dengan perlindungan hak anak.
2.
Saran
v Pemerintah harus lebih ketat dalam menjalankan segala peraturan
- peraturan yang telah dibuat dalam konteks Perlindungan Anak, hal ini
dikarenakan menurut saya segala peraturan - peraturan tersebut belum diterapkan
secara efisien dikarenakan masih banyak kasus pelanggaran hak - hak anak yang
terjadi. Kekerasan terhadap anak agaknya juga memerlukan perhatian yang lebih
besar, terutama dalam kasus perdagangan anak dan pengeksploitasian anak. Hal
yang tidak kalah penting adalah pendidikan untuk anak - anak kurang mampu dan
anak jalanan, hal ini dikarenakan tingkat pendidikan untuk mereka masih sangat
rendah, padahal tidak sedikit dari mereka yang memiliki kecerdasan intelektual
yang tinggi, dan juga karena mereka adalah generasi - generasi penerus bangsa
ini, bagaimana bangsa ini bisa maju jika generasi penerusnya tidak mendapatkan
pendidikan secara layak.
v Perlindungan anak terhadap tindak pidana yang dilakukannya juga
merupakan point penting yang harus mendapat perhatian serius dari pemerintah,
hal ini dikarenakan terkadang anak tidak tahu hal - hal yang dilakukannya itu
melanggar hukum yang berlaku, atau bisa jadi tindak pidana yang mereka lakukan
merupakan akibat dari faktor lingkungan pergaulan yang tidak sehat
v Perlindungan anak bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah,
hal ini juga menjadi tanggung jawab masyarakat dan keluarga dalam mencegah anak
bertindak atau berlaku melanggar tata tertib, terutama anak - anak jalanan yang
sangat sedikit sekali mendapatkan bimbingan terhadap segala sesuatu yang mereka
lakukan.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku :
Fakih, Mansour, 1999, Analisis Gender dan Transformasi
Sosial,
Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Muladi, 2002, Demokrasi, Hal Asasi Manusia, dan Reformasi
Hukum
Indonesia, The Jakarta, Habibie
Center.
Blau, Peter M dan Mashall W. Meyer, 1987, Birokrasi dalam
Masyarakat Modern, , Jakarta,
Penerbit Universitas Indonesia
Ak, Syahmin, 1999, Hukum Internasional Publik dalam M
Joni dan
Z Tanamas, Aspek Hukum Perlindungan Anak.
UNICEF, 1999, Aspek Hukum Perlindungan Anak, dalam Perspektif
Konvensi Hak Anak, Bandung, PT
Citra Aditya Bakti.
UNICEF, 1990, Convention on The
Rights of The Child.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak.
Sumber Internet :
KPA.go.id
google
Wikipedia
UNICEF.blogspot
MSN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar