Senin, 26 Maret 2012

DINAMIKA MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN



BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

            Konsep masyarakat dan kebudayaan adalah segenap tingkah laku manusia yang di anggap sesuai. Tidak melanggar norma-norma umum dan adat istiadat serta terintegrasi langsung dengan tingkah laku umum[1]. Masyarakat menurut definisi kamus besar bahasa Indonesia ialah kumpulan manusia yang hidup bersama di sesuatu tempat dengan aturan dan cara tertentu. Individu, keluarga dan kumpulan-kumpulan kecil merupakan anggota sebuah masyarakat.[2] Jaringan erat wujud dalam kalangan anggota tersebut, khususnya melalui hubungan bertatap muka. Daripada pergaulan ini, terbina pola hubungan sosial yang berulang sifatnya seperti kegiatan gotong royong, bersama-sama merayakan sesuatu perayaan melalui rumah terbuka, berkumpul menyambut pembesar yang datang berkunjung, menghadiri kendui majlis perkahwinan, membantu mereka yang ditimpa malapetaka atau menziarahi jiran yang sakit tenat atau yang telah meninggal dunia. Kekerapan pergaulan ini membina satu kesepaduan dalam masyarakat tersebut sebagai satu unit sosial. Dalam konteks Malaysia, hubungan harmonis antara pelbagai kumpulan etnik dapat membina sebuah masyarakat Malaysia yang teguh.
            Untuk menganalisa secara ilmiah tentang gejala-gejala dan kejadian sosial budaya di masyarakat sebagai proses-proses yang sedan berjalan atau bergeser kita memrlukan beberapa konsep. Konsep-konsep tersebut sangat perlu untuk menganalisa proses pergeseran masyarakat dan kebudayaan serta dalam sebuah penelitian sosiologi yang disebut dinamik sosial (social dynamic).
            Konsep-konsep penting tersebut antara lain internalisasi (internalization) , sosialisasi (socialization), dan enkulturasi (enculturation). Kemudian ada juga evolusi kebudayaan (cultural evolution) yang mengamati perkembangan kebudayaan manusia dari bentuk yang sederhana hingga bentuk yang semakin lama semakin kompleks. Serta juga ada difusi (diffusion) yaiu peneybaran kebudayaan secara geografi, terbawa oleh perpindahan bangsa-bangsa di muka bumi. Proses lain adalah proses belajar unsur-unsur kebudayaan asing oleh warga suatu masyarakat, yaitu proses akulturasi (acculturation) dan asimilasi (assimilation). Akhirnya ada proses pemabahruan atau inovasi (innovation), yang berhubungan erat dengan penemuan baru (discovery dan invention).
1.2 Tujuan Penulisan
            Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menjelaskan nilai, konsep, norma, ciri - ciri, dan pengetahuan di dalam masyarakat dan kebudayaannya yang berlaku secara universal.
1.3 Ruang Lingkup
            Batasan pembahasan dalam makalah ini hanya sebatas menjelaskan hal - hal yang disebutkan dalam tujuan penulisan, dan segala sesuatu diluar hal - hal yang disebutkan dalam tujuan penulisan diatas hanya sebagai pelengkap dan sekedar informasi singkat saja.
1.4 Dasar Teori
            Pada makalah ini saya menggunakan teori masyarakat majemuk yang dikemukakan oleh Furnivall, didalam Soekamto (2009) Furnivall mengatakan bahwa masyarakat majemuk adalah masyarakat yang memiliki latar belakang suku, ras, agama, dan budaya yang sangat kompleks selain itu pada masyarakat majemuk ikatan yang sangat kuat atau yang dapat mengatur masyarakat itu agar tetap berjalan sesuai dengan aturan yang berlaku hanyalah kebudayaan yang diyakini dan dijalankan oleh masing - masing masyarakat.[3]
            Dari pendapat Furnivall diatas, maka secara tidak langsung beliau telah menyampaikan bahwa Indonesia memiliki kemajemukan yang sangat komlpleks, oleh sebab itu sangat mudah terjadi konflik didalamnya, untuk itu peranan budaya sebagai suatu unsur yang sangat melekat dimasyarakat sebagai pengengatur masyarakat harus berjalan sesuai dengan fungsinya, maka secara tidak langsung hal ini akan menyebabkan interdependensi antara kebudayaan dan masyarakat yaitu kebudayaan tidak akan mungkin tercipta tanpa adanya masyarakat, tetapi tidak ada satupun masyarakat yang tidak memiliki kebudayaan dan juga tidak ada masyrakat yang tidak diatur oleh kebudayaan.
BAB II
MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN
2.1 Pengertian Masyarakat dan Kebudayaan
            Konsep Masyarakat adalah segenap tingkah laku manusia yang di anggap sesuai, tidak melanggar norma-norma umum dan adat istiadat serta terintegrasi langsung dengan tingkah laku umum. Dan dapat mengorganisasikan dirinya dan berpikir tentang dirinya sebagai satu kesatuan sosial dengan batasan-batasan tertentu.[4]
            Setiap masyarakat pula mempunyai budayanya yang tersendiri yang terbentuk daripada hubungan rapat sesama anggotanya semenjak masyarakat itu wujud. Sebagai contoh, masyarakat melayu kampung di kawasan luar bandar Malaysia telah wujud berpuluh abad lamanya, semenjak sbelum kedatangan kebudayaan asing (sama ada dari negara China, India, Tanah Arab atau Eropa).
            Definisi klasik kebudayaan seperti dikemukakan oleh Edward B. Taylor adalah keseluruhan kompleks keseluruhan dari pengetahuan, keyakinan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan semua kemampuan dan kebiasaan yang lain yang diperoleh oleh seseorang sebagai anggota masyarakat. “Atau secara sederhana bisa dikatakan kebudayaan adalah segala sesuatu yang dipelajari dan dialami bersama secara sosial oleh para anggota suatu masyarakat.”[5]
            Berdasar asal usul katanya kebudayaan berasal dari bhs Sansekerta buddhayah (bentuk jamak). Bentuk tunggal : buddhi (budi atau akal). Jadi berdasarkan asal usul katanya kebudayaan diartikan dengan hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau akal. Dari bahasa Inggris culture berasal dari bhs Latin (colere) yang artinya mengolah atau mengerjakan, yaitu mengolah tanah atau bertani. “Jadi culture adalah segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah alam.”
            Selo Sumarjan & Sulaeman Sumardi memberikan pengertian kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa, cipta dan karsa masyarakat. Karya (material culture) menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah yang diperlukan oleh manusia untuk menguasai alam sekitarnya, agar kekuatan serta hasilnya dapat dipergunakan oleh masyarakat. [6]
            Rasa meliputi jiwa manusia, mewujudkan segala kaidah dan nilai-nilai social yang perlu untuk mengatur masalah-masalah kemasyarakatan dalam arti luas. Di dalamnya termasuk misalnya agama, ideology, kebatinan, kesenian, dan semua unsur yang merupakan hasil ekspresi jiwa manusia yang hidup sebagai anggota masyarakat.
            Cipta (immaterial culture) merupakan kemampuan mental, kemampuan berpikir yang menghasilkan filsafat serta ilmu pengetahuan. Karsa merupakan kecerdasan dlm menggunakan karya, rasa dan cipta scr fungsional – menghasilkan sesuatau yang bermanfaat bagi manusia
Kebudayaan dapat dibagi ke dalam dua bentuk yaitu kebudayaan materi dan nonmateri. Kebudayaan nonmaeri terdiri dari kata-kata yang dipergunakan orang, hasil pemikiran,m adat istiadat, keyakinan, dan kebiasaan yang diikuti anggota masyarakat. Kebuadayaan materi terdiri atas benda-benda hasilkarya misalnya, alat-alat, mebel, mobil, bangunan ladang yang diolah, jembatan dsb.
            Kebudayaan (culture) sering dicampuradukan dengan masyarakat (society), yang sebenarnya arti keduanya berbeda. Kebuadayaan adalah sistem nilai dan norma, sementara masyarakat adalah sekumpulan manusia yang secara relatif mendiri, yang hidup bersama-sama cukup lama, yang mendiami suatu wilayah tertentu, memeliki kebuadayaan yang sama, dan melakukan sebagain besar kegiatannya dalam kelompok tersebut. Masyarakat adalah suatu organisasi manusia yang saling berhubungan satu sama lain. Kebudayaan adalah suatu sistem nilai dan norma yang terorganisasi yang menjadi pegangan bagi masyarakat tersebut.
2.2 Fungsi Kebudayaan Bagi Masyarakat
            Kebudayaan mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat. Bermacam kekuatan yang harus dihadapi masyarakat dan ang¬gota-anggotanya seperti kekuatan clam, maupun kekuatan-kekuatan lainnya di dalam masyarakat itu sendiri yang tidak selalu baik baginya. Kecuali itu, manusia dan masyarakat memerlukan pula kepuasan, baik di bidang spiri¬tual maupun materiil. Kebutuhan-kebutuhan masyarakat tersebut di atas, untuk sebagian besar dipenuhi olch kebudayaan yang bersumber pada masyarakat itu sendiri. Dikatakan sebagian besar oleh karma kemampuan manusia adalah terbatas, dan dengan demikian kemampuan kebudayaan yang merupakan basil ciptaannya juga terbatas di dalam memenuhi segala kebutuhan.
            “Hasil karsa masyarakat melahirkan teknologi atau kebudayaan kebendaan yang mempunyai kegunaan utama melindungi masyarakat terhadap lingkungan dalamnya. Teknologi pada hakikatnya meliputi paling sedikit tujuh unsur, yaitu:
1.      alat-alat produktif,
2.      senjata,
3.      wadah,
4.      makanan clan minuman,
5.      pakaian dan perhiasan,
6.      tempat berlindung dan perumahan,
7.      alat-alat transpor.”[7]
            Dalam tindakan-tindakannya untuk melindungi diri terhadap lingkungan alam, pada taraf permulaan, manusia bersikap menyerah dan semata-mata bertindak di dalam batas-batas untuk melindungi dirinya[8]. Taraf tersebut masih banyak dijumpai pada masyarakat-masyarakat yang hingga kini masih rendah taraf kebudayaannya. Misalnya suku bangsa Kubu yang tinggal di pedalaman daerah Jambi, masih bersikap menyerah terhadap lingkungan alamnya. Rata-rata mereka itu masih merupakan masyarakat yang belum mempunyai tempat tinggal tetap, hal mana disebabkan karena persediaan bahan pangan semata-mata tergantung dari lingkungan alam. Taraf teknologi mereka belum mencapai tingkatan di mana kepada manusia diberikan kemungkinan-kemungkinan untuk memanfaatkan dan menguasai lingkungan alamnya.
            Keadaannya berlainan dengan masyarakat yang sudah kompleks, di mana taraf kebudayaannya lebih tinggi. Hasil karya manusia tersebut, yaitu teknologi, memberikan kemungkinan-kemungkinan yang sangat luas untuk memanfaatkan hasil-hasil alam dan apabila mungkin menguasai alam. Per¬kembangan teknologi di negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Soviet Rusia, Perancis, Jerman dan sebagainya, merupakan beberapa contoh dimana masyarakatnya tidak lagi pasif menghadapi tantangan alam sekitar.
2.3  7 Unsur Kebudayaan Universal
            Istilah ini menunjukkan bahwa unsur-unsur tersebut bersifat universal, yaitu dapat dijumpai pada setiap kebudayaan di manapun di dunia ini. Para antropolog yang membahas persoalan tersebut secara lebih mendalam, belum mempunyai pandangan seragam yang dapat diterima. “Antropolog C. Kluckhohn di dalam sebuah karyanya yang berjudul Universal Categories of Culture telah menguraikan ulasan para sarjana mengenai hal itu”[9]. Inti pendapat-pendapat para sarjana itu menunjuk pada adanya tujuh unsur kebudayaan yang dianggap sebagai cultural universals, yaitu:
1.      Peralatan dan perlengkapan hidup manusia (pakaian perumahan, alat-alat rumah tangga,senjata, alat-alat produksi transpor dan sebagainya).
2.      Mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi (pertanian peternakan, sistem produksi, sistem distribusi dan sebagainya).
3.      Sistem kemasyarakatan (sistern kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum, sistem perkawinan).
4.      Bahasa (lisan maupun tertulis).
5.      Kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak dan sebagainya).
6.      Sistem pengetahuan.
7.      Religi (sistem kepercayaan).[10]

            Cultural-universals tersebut di atas, dapat dijabarkan lagi ke dalam unsur-unsur yang lebih kecil. Ralph Linton menyebutnya kegiatan-kegiatan kebudayaan atau cultural aclivity. Sebagai contoh, cultural universals pencaharian hidup dan ekonomi, antara lain mencakup kegiatan-kegiatan seperti pertanian, peternakan, sistem produksi, sistem distribusi dan lain-lain. Kesenian misalnya, meliputi kegiatan-kegiatan seperti seni tari, seni rupa, seni suara dan lain-lain. Selanjutnya Ralph Linton merinci kegiatan-kegiatan kebudayaan tersebut menjadi unsur-unsur yang lebih kecil lagi yang disebutnya trait-complex. Misalnya, kegiatan pertanian menetap meliputi unsure-¬unsur irigasi, sistem mengolah tanah dengan bajak, sistem hak milik atas tanah dan lain sebagainya. Selanjutnya trait-complex mengolah tanah dengan bajak, akan dapat dipecah-pecah ke dalam unsur-unsur yang lebih kecil lagi umpamanya hewan-hewan yang menarik bajak, teknik mengendalikan bajak dan seterusnya. Akhirnya sebagai unsur kebudayaan terkecil yang membentuk traits, adalah items.
            Apabila diambil contoh alat bajak tersebut di atas maka, bajak tadi terdiri dari gabungan alat-alat atau bagian-bagian yang lebih kecil lagi yang dapat dilepaskan, akan tetapi pada hakikatnya merupakan suatu kesatuan. Apabila salah-satu bagian bajak tersebut dihilangkan, maka bajak tadi tak dapat melaksanakan fungsinya sebagai bajak. Menurut Bronislaw Malinowski yang selalu mencoba mencari fungsi atau kegunaan setiap unsur kebudayaan, tak ada suatu unsur kebudayaan yang tidak mempunyai kegunaan yang cocok dalam rangka kebudayaan sebagai keseluruhan. Apabila ada unsur kebudayaan yang kehilangan kegunaannya, unsur tersebut akan hilang dengan sendirinya. Kebiasaan-kebiasaan serta dorongan, tanggapan yang didapat dengan belajar serta dasar-dasar untuk organisasi, harus diatur sedemikian rupa, sehingga memungkinkari pemuasan kebutuhan-kebu¬tuhan pokok manusia.
2.4 Konsep - Konsep Realitas Sosial Budaya Indonesia
1.      Masyarakat
            Adalah sekumpulan manusia yang menempati wilayah tertentu dan membina kehidupan bersama dalam berbagai aspek kehidupan atas dasar norma sosial terntentu dalam waktu yang cukup lama.[11]
2.      Interaksi Sosial 
            Adalah hubungan dan pengaruh timbal balik antarindividu,antara individu dari kelompok dan antarkelompok.[12]
3.      Status dan Peran
            Status adalah posisi seseorang dalam masyarakat yang merupakan aspek masyarakat yang kurang lebih bersifat statis.Peran merupakan pola tindakan dari orang yang memiliki status tertentu dan merupakan aspek masyarakat yang kurang lebih bersifat dinamis.[13]
4.      Nilai
            Nilai itu adalah segala sesuatu yang dianggap baik dan benar oleh anggota masyarakat dan merupakan sesuatu yang diidam-idamkan.Pergeseran nilai akan mempengaruhi kebiasaan dan tata kelakuan.
5.      Norma
            “Norma merupakan wujud konkret dari nilai sosial,dibuat untuk melaksanakan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat yang telah dianggap baik dan benar.”[14]
6.      Lembaga Sosial
            Lembaga adalah sistem hubungan sosial yang terorganisir dan mewujudkan nilai-nilai dan tata cara umu tertentu dan memenuhi kebutuhan dasar masyarakat.Lembaga merupaka satu sistem norma untuk mencapai suatu tujuan yang oleh masyarakat dianggap penting.
7.      Sosialisasi
            Sosialisasi merupakan proses individu belajar berinteraksi di tengah masyarakat.Melalui proses sosialisasi ,seorang individu akan memperoleh pengetahuan,nilai-nila dan norma-norma yang akan membekalinya dalam proses pergaulan.

8.      Perilaku Menyimpang
            Merupakan bentuk perilaku masyarakat yang tidak sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku.
9.      Pengendalian Sosial
            Setiap masyarakat menginginkan adanya suatu ketertiban agar tata hubungan antarwarga masyarakat dapat berjalan secara tertib dan lancar,untuk kepentingan ini masyarakat membuat norma sebagai pedoman yang pelaksanaannya memerlukan suatu bentuk pengawasan dan pengendalian.[15]
10.  Proses Sosial
            Proses sosial merupakan proses interaksi dan komunikasi antarkomponen masyarakat dari waktu ke waktu hingga mewujudkan suatu perubahan.Dlama suatu proses sosial terdapat komponen-komponen yang saling terkait satu sama lain,yaitu:
a)      Struktur sosial,yaitu susunan masyarakat secara komprehensif yang menyangkut individu ,tata nilai,dan struktur budayanya.
b)      Interaksi Sosial,yaitu keseluruhan jalinan antarwarga masyarakat.
c)      Struktur alam lingkungan yang meliputi letak,bentang alam,iklim,flora dan fauna.Komponen isi merupakan salah satu komponen yang turut mempengaruhi bagaimana jalannya proses sosial dalam suatu masyarakat.[16]
11.  Perubahan Sosial Budaya
Adalah perubahan struktur sosial dan budaya akibat adanya ketidaksesuaian di antara unsur-unsurnya sehingga memunculkan suatu corak sosial budaya baru yang dianggap ideal.
12.  Kebudayaan
            Adalah semua hasil cipta,rasa dan karsa manusia dalam hidup bermasyarakat.Dalam arti luas,kebudayaan merupakan segala sesuatu yang ada di muka bumi yang keberadaannya diciptakan oleh manusia.Dibentuk oleh:
1.      artefak,yaitu benda hasil karya manusia
2.      sistem aktivitas,seperti berbagai jenis tarian,olahraga,kegiatan sosial,ritual
3.      sistem ide atau gagasan,yaitu pola pikir yang ada di dalam pikiran manusia.
2.5 Keadaan Sosial Budaya Indonesia
      Dari perspektif agama, masyarakat Indonesia dalam berperilaku menyelaraskan diri dengan tatanan yang diyakini berasal dari Tuhan, perspektif spiritual merujuk pada pengembangan potensi-potensi internal diri manusia dalam aktualisasi yang selaras dengan hukum non materi, dan perspektif budaya yang merujuk pada tradisi penghayatan dan pengembangan nilai-nilai kemanusiaan untuk membangun sebuah kehidupan yang comfort baik secara individu maupun kolektif. Dalam konteks perubahan social sekarang masyarakat Indonesia dalam sekat pluralisme terakomodasi secara otomatis dalam civics responsibility,  social economics responsibilities, dan personal responsibility.
            Secara spesifik keadaan sosial budaya Indonesia sangat kompleks, mengingat  penduduk Indonesia kurang lebih sudah di atas 200 juta dalam 30 kesatuan suku bangsa. Oleh karena itu pada bagian ini akan dibicarakan keadaan sosial budaya Indonesia dalam garis besar. Kesatuan politis Negara Kesatuan Republik Indonesia  terdiri atas 6000 buah pulau yang terhuni dari  jumlah keseluruhan sekitar 13.667 buah pulau. Dapat dibayangkan bahwa bahasa Indonesia yang dijadikan sebagai bahasa nasional belum tentu  sudah tersosialisasikan pada 6000 pulau tersebut, mengingat sebagian besar bermukim di pedesaan. Hanya 10-15% penduduk Indonesia yang bermukim di daerah urban. Indonesia sudah tentu bukan hanya Jawa dan Bali saja, karena kenyataan Jawa mencakup 8% penduduk urban.
            Sementara itu bahasa Indonesia masih dapat dikatakan sebagai “bahasa bagi kaum terdidik/sekolah” pada daerah-daerah yang  tidak berbahasa ibu bahasa Indonesia. Bagaimana dengan yang lain? Sementara ada orang asing pada tahun 1998 sangat kebingungan mengartikan kata lengser keprabon yang dalam Kamus Bahasa Indonesia belum tercantum, sedangkan untuk mengartikan lengser keprabon tidak sekedar pengertian definitif dalam semantik bahasa Indonesia. Lengser keprabon (yang sekarang sudah dianggap bahasa Indonesia, seperti dengan kata lain seperti “legawa”)  harus dipahami dalam perspektif sejarah kebudayaan dan sistem politik Jawa. Oleh karena itu dengan mempelajari aspek psikologis budaya Jawa, penutur asing dapat memahami makna sebenarnya kata “Lengser Keprabon”.  Contoh lain, seperti kata “ Gemah Ripah Loh Jinawi” yang sering digunakan dalam kosa kata bahasa Indonesia yang menggambarkan kesuburan Indonesia, antara penutur Jawa dan Sunda memiliki konsep yang berbeda.
            Dalam konsep Jawa “Gemah Ripah Loh Jinawi, Subur kang Sarwa Tinandur, Murah kang Sarwa Tinuku, Tata Tentrem Kerta Raharja”, sementara saudara-saudara dari Sunda mengekspresikan dalam “ Tata Tentrem Kerta Raharja, Gemah Ripah Loh Jinawi , Rea Ketan Rea Keton Buncir Leuit Loba Duit”[17] yang artinya saudara dari suku Sunda yang lebih memahami. Sementara itu di Sumatera Barat dengan adat Minangkabau yang didalamnya terdapat suatu sistem yang sempurna dan bulat, dalam berbahasa sangat memperhatikan raso, pareso, malu dan sopan, sehingga bahasa Indonesia yang dituturkannya pun sangat terkait dengan psikologi budaya Minangkabau.       
            Oleh sebab itulah dalam memahami Sosial Budaya dan psikologi masyarakat Indonesia yang nantinya berimplikasi pada tindak tutur berbahasa Indonesia, paling tidak dalam pendekatan silang budaya memperhatikan tiga hal yaitu
a.       masyarakat dalam perspektif agama,
b.      perspektif spiritual, dan
c.       perspektif budaya.










BAB III
DINAMIKA KEBUDAYAAN DAN MASYARAKAT
3.1 Internalisasi, Sosialisasi, dan Enkulturasi
a. Proses Internalisasi
            Manusia mempunyai bakat tersendiri dalam gen-nya untuk mengembangkan berbagai macam perasaan, hasrat, nafsu, serta emosi kepribadiannya. Tetapi wujud dari kepribadiannya itu sangat dipengaruhi oleh berbagai macam stimuli yang ada di sekitar alam dan lingkungan sosial dan budayanya.[18]
            Maka proses internalisasi yang dimaksud adalah proses panjang sejak seorang individu dilahirkan sampai ia hampir meninggal, dimana ia belajar menanamkan dalam kepribadiannya segala hasrat, perasaan, nafsu, serta emosi yang diperlukan sepanjang hidupnya.
b. Proses sosialisasi
            Proses ini bersangkutan dengan proses belajar kebudayaan dalam hubungan dengan sistem sosial[19]. Dalam proses itu seorang individu dari masa anak-anak hingga masa tuanya belajar pola-pola tindakan dalam interaksi dengan segala macam individu di sekililingnya yag menduduki beraneka macam peranan sosial yang mungkin ada dalam kehidupan sehari-hari.
c. Proses Enkulturasi
            Dalam proses ini seorang individu mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya dengan adat-istiadat, sistem norma, serta peraturan-peraturan yang hidup dalam kebudayaannya.[20] Kata enkulturasi dalam bahas Indonesia juga berarti “pembudayaan”. Sorang individu dalam hidupnya juga sering meniru dan membudayakan berbagai macam tindakan setelah perasaan dan nilai budaya yang memberi motivasi akan tindakan meniru itu telah diinternalisasi dalam kepribadiannya.

3.2 Evolusi, Difusi, dan Akulturasi
a. Proses Difusi
            Ilmu Paleoantropologi memperkirakan bahwa manusia terjadi di daerah Sabana tropikal di Afrika Timur, dan sekarang makhluk itu sudah menduduki hampir seluruh permukaan bumi ini. Hal ini dapat diterangkan dengan dengan adanya proses pembiakan dan gerak penyebaran atau migrasi-migrasi yang disertai dengan proses adpatsi fisik dan sosial budaya.
            Penyebaran Unsur-Unsur Kebudayaan. Bersamaan dengan penyebaran dan migrasi kelompok-kelompok manusia di muka bumi, turut pula tersebar unsur-unsur kebudayaan dan sejarah dari proses penyebaran unsur penyebaran kebudayaan seluruh penjuru dunia yang disebut proses difusi (diffusion). Salah satu bentuk difusi dibawa oleh kelompok-kelompok yang bermigrasi. Namun bisa juga tanpaadanaya migrasi, tetapi karena ada individu-individu yang membawa unsur-unsur kebudayaan itu, dan mereka adalah para pedagang dan pelaut.
b. Proses Evolusi Sosial
            Proses Microscopic dan Macroscopic Dalam Evolusi Sosial.[21] Proses evolusi dari suatu masyarakat dan kebudayaan dapat dianalisa oleh seorang peneliti seolah-olah dari dekat secar detail (microscopic), atau dapat juga dipandang dari jauh hanya dengan memperhatiakn perubahan-perubahan yang besar saja (macroscopic). Proses evolusi sosial budaya yang dianalisa secara detail akan membuka mata seorang peneliti untuk berbagai macam proses perubahan yang terjadi dalam dinamika kehidupan sehari-hari dalam setiap masyarakat di dunia.
            Proses-Proses Berulang dalam Evolusi Sosial Budaya[22]. Proses ini mengenai suatu aktivitas dalam sebuah lingkunagn atau suatu adat dimana aktivitas yang dilakukan terus berulang. Dan aktivitas yang dimaksud biasanya aktivitas yang menyimpang atau diluar kehendak perilaku. Namun pada suatu ketika dan seiring terjadi aktivitas tersebut selalu berulang (recurent) dalam kehidupan sehari-hari disetiap masyarakat. Sampai akhirnya masyarakat tidak bisa mempertahankan adatnya lagi, karena terbiasa dengan penyimpangan-penyimpangan tersebut. Maka masyrakat terpaksa memberi konsesinya, dan adat serta aturan diubah sesuai dengan keperluan baru dari indibidu-individu didalam masyarakat.
            Proses Mengarah dalam Evolusi Kebudayaan.[23] Dengan mengambil jangka waktu yang panjang maka akan terlihat prubahan-perubahan besar yang seolah bersifat menentukan arah (dirctional) dari sejarah perkembangan masyarakat dan kebudayaan yang bersangkutan. Sebagai contoh misalnya tingkat kebudayaan manusia yang berawal dari Neolitik, kemudian berubah menjadi Mesoltk dan akhirnya berubah menuju Paleolitik.
c. Proses Akulturasi
            Poses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan demikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing tersebut lambat laun diterima dan diolah kedalm kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri.[24]
            Jadi, intinya proses akulturasi adalah penggabungan kebudayaan asing dengan kebudayaan asli sehingga mengahasilkan suatu kebudayaan baru. Akan tetapi pada proses sosial akulturasi ini kebudayaan asli nilai - nilai, norma - norma, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan kebudayaan asli tidak hilang.
3.3 Etnocentrisme, Xenocentrisme, dan Relativisme Budaya
a. Etnocentrisme
            Etnosentrisme bisa diartikan sebagai pandangan bahwa kelompoknya sendiri adalah pusat dari segalanya dan semua kelompok lain dibandingkan dan dinilai sesuai dengan standar kelompok sendiri.[25] Atau secara bebas bisa dikatakan etnosentrisme adalah kebiasaan setiap kelompok untuk menganggap kebudayaan kelompoknya sebagai kebuadayaan yang paling baik. Kita mengasumsikan tanpa pikir atau argument bahwa masyarakat kita merupakan masyarakat “progresif” sedangkan masyarakat di luar dunia “terbelakang”, kesenian kita indah, sedangkan kesenian lain aneh.
            Etnosentrisme membuat kebuadayaan kita sebagai patokan untuk mengukur baik buruknya, tinggi rendahnya dan ebnar atau ganjilnya kebudayaan lain . ini sering dinyatakan dalam ungkapkan orang-orang terpilih, ras unguul, penganut sejati, dsb.
b. Xenocentrisme
            Istilah ini berarti suatu pandangan yang lebih menyukai hal-hal yang berbau asing. Ini adalah kebailkan yang tepat dari etnosentrisme. Ada banyak kebanggaan bagi orang-orang tertentu ketika mereka membayar lebih mahal untuk barang-barang impor dengan asumsi bahwa segala yang datang dari luar negeri lebih baik.
c. Relativisme Budaya
            Kita tidak mungkin memahami perilaku kelompok lain dengan sudut pandang motif, kebiasaan dan nilai yang kita anut.[26] Relativisme kebudayaan fungsi dan arti dari suatu unsur adalah berhubungan dengan lingkungan/keadaan kebudayaannya. Motif, kebiasaan, nilai suatu kebudayaan harus dinilai/dipahami dari sudut pandang mereka. Relativisme kebuadayaan juga bisa diartikan “segala sesuatu benar pada suatu tempat-tetapi tidak benar pada semua tempat”
3.4 Kebudayaan Sebagai Sistem Norma
            Kebudayaan berarti menyangkut aturan yang harus diikuti - maka kebudayaan menentukan standar perilaku.[27] Sebagai contoh untuk bersalaman kita mengulurkan tangan kanan; untuk menggaruk kepala boleh menggunakan tangan kiri atau kanan. Karena kebudayaan kita tidak memiliki norma untuk menggaruk kepala.
            Istilah norma memiliki dua kemungkinan arti. Suatu norma budaya adalah suatu konsep yang diharapkan ada. Kadang norma statis dianggap sebagai kebudayaan yang nyata. Norma statis sering disebut sebagai suatu ukuran dari perilaku yang sebenarnya, disetujui atau tidak.[28] Norma kebudayaan adalah seperangkat perilaku yang diharapkan suatu citra kebuadayaan tentang bagaimana seharusnya seseorang bersikap.
            Berbagai masyarakat telah mencoba berbagai macam pola yang dapat dilaksanakan. Sebagai contoh, suatu masyarakat sudah mencoba makan sambil berdiri, duduk di lanati, duduk di kursi atau jongkok di lanatai; mereka boleh makan bersama, atau masing-masing sendiri; boleh menggunakan tangan, sendok; boleh memulai dengan minum anggur, makan soup atau tidak ekduanya. Setiap cara merupakan sekumpulan sejumlah kemungkinan, yang semuanya dapat dikerjakan. Melalui coba-coba, situasi kebetulan, atau nbeberapa pengaruh yang tidak disadari suatu masyarakat sampai pada salah satu kemungkinan, mengulanginya dan menerimanya sebagai cara yang wajar untuk memenuhi kebutuhan tertentu, pakai baju batik, makan nasi dsb. Generasi baru menyerap kebiasaan tersebut. Mereka terus menerus melihat cara berperilaku tertentu, mereka yakin itulah cara yang benar.
            Kejadian itu diteruskan kepada generasi penerus sebagai salah satu kebiasaan. Folkways (kebiasaan) : cara yang lazim yang wajar dalam melakukan sesuatu oleh sekelompok orang. Sebagai contoh berjabat tangan, makan dengan tangan, makan dengan sumpit, makan dengan sendok-garpu, mengenakan sarung, kopiah, pada kesempayan-kesempatan tertentu. Ada dua kebiasaan yaitu (1) hal-hal yang seharusnya diikuti sebagai sopan santun dan perilaku sopan, (2) hal-hal yang harus diikuti karena yakin kebiasaan itu penting untk kesejahteraan masyarakat. Pandangan salah benar yang menyangkut kebiasaan disebut tata kelakuak (mores).[29] Jadi mores (tata kelakuan) adalah gagasan yang kuat mengenai salah dan benar yang menuntut tindakan tertentu dan melarang yang lain.
            Biasanya anggota suatu amsyarakat sama-sam merasakan keyakinan yang luhur bahwa pelanggaran pada tata kelakuakn mereka akan menimbulkan bencana bagi anggota masyarakat tersebut. Namu kadang-kadang orang luar melihatnya sebagi sesuatu yang tidak masuk akal. Kalau orang yakin bahwa perilaku tertentu merugikan, maka ia akan dikutuk oleh tata kelakuan. Tata kelakua adalah keyakinan tentang salah dan benar dalam perilaku/tindakan. Sebagi contoh kenduri merupakan kebiasaan masyarakat jawa. Dipercaya apabila orang tidak melaksanakan kenduri akan mendatarngkan bencana bagi masyarakat tersebut
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
            Konsep - Konsep tentang Realitas Sosial Budaya : Masyarakat, Interksi social, Status dan peran, nilai, norma, lembaga social, sosialisasi,  perilaku menyimpang, pengendalian  sosial, proses social, perubahan social dan kebudaya.
            Konsep Masyarakat adalah segenap tingkah laku manusia yang di anggap sesuai. Tidak melanggar norma-norma umum dan adat istiadat serta terintegrasi langsung dengan tingkah laku umum.
            Secara spesifik keadaan sosial budaya Indonesia sangat kompleks, mengingat  penduduk Indonesia kurang lebih sudah di atas 240 juta dalam 30 kesatuan suku bangsa. Oleh karena itu pada bagian ini akan dibicarakan keadaan sosial budaya Indonesia dalam garis besar.
            Dan pada makalah ini juga dijelaskan bagaimana berlangsungnya budaya dalam masyarakat yang dapat diambil kesimpulan masyarakat tanpa budaya tidak mungkin tercipta suatu susunan atau tatanan yang harmonis, dan sebaliknya budaya tanpa masyarakat tidak akan mungkin pernah ada, karena budaya merupakan ciptaan masyarakat yang merupakan bagian penting dalan kajian - kajian ilmu sosial.
            Inti dari makalah ini adalah masyarakat itu sifatnya dinamis oleh karena itu selalu ada perubahan - perubahan yang terjadi dalam segala aspek kehidupannya. Namun jika perubahan atau pembaharuan yang terjadi terlalu cepat, maka masyarakat tersebut akan mengalami (shock) yang akan berakibat merusak tatanan yang ada dan dapat memberi pengaruh yang negatif dari perubahan yang terjadi tersebut.
4.2 Saran
Dalam menghadapi kemajemukan dan pluralitas bangsa dan negara ini haruslah dengan langkah - langkah yang bijak dan benar, apalagi di dalam kemajemukan tersebut masyarakat dan segala tingkahlaku dinamisnya dapat rentan sekali terjadi konflik, untuk itu toleransi SARA harus ditingkatkan demi terciptanya integrasi bangsa dan negara ini dan untuk menghindari konflik.
DAFTAR PUSTAKA
Depdiknas. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia. 2002
Edward, Saleh. Dinamika Kebudayaan dan Masyrakat”. http://pengantar-sosiologi.blogspot.com /2009/04/bab-9-dinamika-kebudayaan-dan-masyarakat.html
Priyogo. “Masyarakat dan Kebudayaan” http://pengantar-sosiologi.blogspot.com/2009/04/bab-7-kebudayaan-dan-masyarakat.html. hal 25-27
Soekamto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers. 2009
Subagyo, Rafandi . “Santri, Priyayi, Abangan”. http://pengantar-sosiologi.blogspot.com /2009/04/bab-4-santri-priyayi-dan-abangan-masyarakat-jawa.html
Waluyo, Supartono. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta:Ghalia Indonesia, 1995
Zakaria, Muhammad. “Kebudayaan Sebagai Sistem Norma”. http://pengantar-sosiologi.blogspot. com/2009/04/bab-7-ciri-kebudayaan&-kedudukan kebudayaan + norma.html




[1] Supartono W, Ilmu Budaya Dasar, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1995, hal 30
[2] Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Gramedia, 2002, hal 198
[3]  Soerjono Soekamto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta, Rajawali Pers, 2009, hal 167
[4] Soekamto. Op.Cit. hal 14
[5] Priyogo, “Masyarakat dan Kebudayaan”, http://pengantar-sosiologi.blogspot.com/2009/04/bab-7-kebudayaan-dan-masyarakat.html, hal 25

[6] Soekamto. Op.Cit. hal 189
[7] Priyogo. Loc.Cit. hal 27
[8] Soekamto. Op.Cit. hal 155


[9] Priyogo. Loc.Cit. hal 26
[10] Soekamto. Op.Cit. hal 153

[11] Ibid. hal 17

[12] Ibid. hal 53
[13] Ibid. hal 209
[14] Priyogo.Loc.Cit.hal 27
[15] Soekamto. Op.Cit. hal 57
[16] Ibid. hal 64
[17] Rafandi Subagyo, “Santri, Priyayi, Abangan”, http://pengantar-sosiologi.blogspot.com/2009/04/bab-4-santri-priyayi-dan-abangan-masyarakat-jawa.html
[18] Soekamto, Op.Cit. hal 61
[19] Ibid.
[20] Ibid. hal 263
[21] Ibid. hal 276
[22] Ibid. hal 281
[23] Ibid. hal 275
[24] Ibid. hal 284
[25] Saleh Edward, “ Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan”, http://pengantar-sosiologi.blogspot.com/2009/04/bab-9-dinamika-kebudayaan-dan-masyarakat.html
[26] Ibid
[27] Priyogo, Op.Cit. hal 27
[28] Priyogo, Op.Cit. hal 26
[29] Ibid.