BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Konsep
masyarakat dan kebudayaan adalah segenap tingkah laku manusia yang di anggap
sesuai. Tidak melanggar norma-norma umum dan adat istiadat serta terintegrasi langsung
dengan tingkah laku umum[1].
Masyarakat menurut definisi kamus besar bahasa Indonesia ialah kumpulan
manusia yang hidup bersama di sesuatu tempat dengan aturan dan cara tertentu.
Individu, keluarga dan kumpulan-kumpulan kecil merupakan anggota sebuah
masyarakat.[2]
Jaringan erat wujud dalam kalangan anggota tersebut, khususnya melalui hubungan
bertatap muka. Daripada pergaulan ini, terbina pola hubungan sosial yang
berulang sifatnya seperti kegiatan gotong royong, bersama-sama merayakan
sesuatu perayaan melalui rumah terbuka, berkumpul menyambut pembesar yang
datang berkunjung, menghadiri kendui majlis perkahwinan, membantu mereka yang
ditimpa malapetaka atau menziarahi jiran yang sakit tenat atau yang telah
meninggal dunia. Kekerapan pergaulan ini membina satu kesepaduan dalam
masyarakat tersebut sebagai satu unit sosial. Dalam konteks Malaysia, hubungan
harmonis antara pelbagai kumpulan etnik dapat membina sebuah masyarakat
Malaysia yang teguh.
Untuk
menganalisa secara ilmiah tentang gejala-gejala dan kejadian sosial budaya di
masyarakat sebagai proses-proses yang sedan berjalan atau bergeser kita
memrlukan beberapa konsep. Konsep-konsep tersebut sangat perlu untuk
menganalisa proses pergeseran masyarakat dan kebudayaan serta dalam sebuah
penelitian sosiologi yang disebut dinamik sosial (social dynamic).
Konsep-konsep
penting tersebut antara lain internalisasi (internalization) , sosialisasi
(socialization), dan enkulturasi (enculturation). Kemudian ada juga evolusi
kebudayaan (cultural evolution) yang mengamati perkembangan kebudayaan manusia
dari bentuk yang sederhana hingga bentuk yang semakin lama semakin kompleks.
Serta juga ada difusi (diffusion) yaiu peneybaran kebudayaan secara geografi,
terbawa oleh perpindahan bangsa-bangsa di muka bumi. Proses lain adalah proses
belajar unsur-unsur kebudayaan asing oleh warga suatu masyarakat, yaitu proses
akulturasi (acculturation) dan asimilasi (assimilation). Akhirnya ada proses
pemabahruan atau inovasi (innovation), yang berhubungan erat dengan penemuan baru
(discovery dan invention).
1.2 Tujuan
Penulisan
Tujuan
penulisan makalah ini adalah untuk menjelaskan nilai, konsep, norma, ciri -
ciri, dan pengetahuan di dalam masyarakat dan kebudayaannya yang berlaku secara
universal.
1.3 Ruang
Lingkup
Batasan
pembahasan dalam makalah ini hanya sebatas menjelaskan hal - hal yang
disebutkan dalam tujuan penulisan, dan segala sesuatu diluar hal - hal yang
disebutkan dalam tujuan penulisan diatas hanya sebagai pelengkap dan sekedar
informasi singkat saja.
1.4 Dasar Teori
Pada
makalah ini saya menggunakan teori masyarakat majemuk yang dikemukakan oleh
Furnivall, didalam Soekamto (2009) Furnivall mengatakan bahwa masyarakat
majemuk adalah masyarakat yang memiliki latar belakang suku, ras, agama, dan
budaya yang sangat kompleks selain itu pada masyarakat majemuk ikatan yang
sangat kuat atau yang dapat mengatur masyarakat itu agar tetap berjalan sesuai
dengan aturan yang berlaku hanyalah kebudayaan yang diyakini dan dijalankan
oleh masing - masing masyarakat.[3]
Dari pendapat
Furnivall diatas, maka secara tidak langsung beliau telah menyampaikan bahwa
Indonesia memiliki kemajemukan yang sangat komlpleks, oleh sebab itu sangat
mudah terjadi konflik didalamnya, untuk itu peranan budaya sebagai suatu unsur
yang sangat melekat dimasyarakat sebagai pengengatur masyarakat harus berjalan
sesuai dengan fungsinya, maka secara tidak langsung hal ini akan menyebabkan
interdependensi antara kebudayaan dan masyarakat yaitu kebudayaan tidak akan
mungkin tercipta tanpa adanya masyarakat, tetapi tidak ada satupun masyarakat
yang tidak memiliki kebudayaan dan juga tidak ada masyrakat yang tidak diatur
oleh kebudayaan.
BAB
II
MASYARAKAT
DAN KEBUDAYAAN
2.1 Pengertian
Masyarakat dan Kebudayaan
Konsep
Masyarakat adalah segenap tingkah laku manusia yang di anggap sesuai, tidak
melanggar norma-norma umum dan adat istiadat serta terintegrasi langsung dengan
tingkah laku umum. Dan dapat mengorganisasikan dirinya dan berpikir tentang
dirinya sebagai satu kesatuan sosial dengan batasan-batasan tertentu.[4]
Setiap
masyarakat pula mempunyai budayanya yang tersendiri yang terbentuk daripada
hubungan rapat sesama anggotanya semenjak masyarakat itu wujud. Sebagai contoh,
masyarakat melayu kampung di kawasan luar bandar Malaysia telah wujud berpuluh
abad lamanya, semenjak sbelum kedatangan kebudayaan asing (sama ada dari negara
China, India, Tanah Arab atau Eropa).
Definisi
klasik kebudayaan seperti dikemukakan oleh Edward B. Taylor adalah keseluruhan
kompleks keseluruhan dari pengetahuan, keyakinan, kesenian, moral, hukum, adat
istiadat dan semua kemampuan dan kebiasaan yang lain yang diperoleh oleh
seseorang sebagai anggota masyarakat. “Atau secara sederhana bisa dikatakan
kebudayaan adalah segala sesuatu yang dipelajari dan dialami bersama secara
sosial oleh para anggota suatu masyarakat.”[5]
Berdasar
asal usul katanya kebudayaan berasal dari bhs Sansekerta buddhayah (bentuk
jamak). Bentuk tunggal : buddhi (budi atau akal). Jadi berdasarkan asal usul
katanya kebudayaan diartikan dengan hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau
akal. Dari bahasa Inggris culture berasal dari bhs Latin (colere) yang artinya
mengolah atau mengerjakan, yaitu mengolah tanah atau bertani. “Jadi culture
adalah segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah alam.”
Selo
Sumarjan & Sulaeman Sumardi memberikan pengertian kebudayaan sebagai semua
hasil karya, rasa, cipta dan karsa masyarakat. Karya (material culture)
menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah yang
diperlukan oleh manusia untuk menguasai alam sekitarnya, agar kekuatan serta
hasilnya dapat dipergunakan oleh masyarakat. [6]
Rasa
meliputi jiwa manusia, mewujudkan segala kaidah dan nilai-nilai social yang
perlu untuk mengatur masalah-masalah kemasyarakatan dalam arti luas. Di dalamnya
termasuk misalnya agama, ideology, kebatinan, kesenian, dan semua unsur yang
merupakan hasil ekspresi jiwa manusia yang hidup sebagai anggota masyarakat.
Cipta
(immaterial culture) merupakan kemampuan mental, kemampuan berpikir yang
menghasilkan filsafat serta ilmu pengetahuan. Karsa merupakan kecerdasan dlm
menggunakan karya, rasa dan cipta scr fungsional – menghasilkan sesuatau yang
bermanfaat bagi manusia
Kebudayaan dapat dibagi ke dalam dua bentuk yaitu
kebudayaan materi dan nonmateri. Kebudayaan nonmaeri terdiri dari kata-kata
yang dipergunakan orang, hasil pemikiran,m adat istiadat, keyakinan, dan
kebiasaan yang diikuti anggota masyarakat. Kebuadayaan materi terdiri atas
benda-benda hasilkarya misalnya, alat-alat, mebel, mobil, bangunan ladang yang
diolah, jembatan dsb.
Kebudayaan
(culture) sering dicampuradukan dengan masyarakat (society), yang sebenarnya
arti keduanya berbeda. Kebuadayaan adalah sistem nilai dan norma, sementara
masyarakat adalah sekumpulan manusia yang secara relatif mendiri, yang hidup
bersama-sama cukup lama, yang mendiami suatu wilayah tertentu, memeliki
kebuadayaan yang sama, dan melakukan sebagain besar kegiatannya dalam kelompok
tersebut. Masyarakat adalah suatu organisasi manusia yang saling berhubungan
satu sama lain. Kebudayaan adalah suatu sistem nilai dan norma yang
terorganisasi yang menjadi pegangan bagi masyarakat tersebut.
2.2 Fungsi
Kebudayaan Bagi Masyarakat
Kebudayaan
mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat. Bermacam
kekuatan yang harus dihadapi masyarakat dan ang¬gota-anggotanya seperti
kekuatan clam, maupun kekuatan-kekuatan lainnya di dalam masyarakat itu sendiri
yang tidak selalu baik baginya. Kecuali itu, manusia dan masyarakat memerlukan
pula kepuasan, baik di bidang spiri¬tual maupun materiil. Kebutuhan-kebutuhan
masyarakat tersebut di atas, untuk sebagian besar dipenuhi olch kebudayaan yang
bersumber pada masyarakat itu sendiri. Dikatakan sebagian besar oleh karma
kemampuan manusia adalah terbatas, dan dengan demikian kemampuan kebudayaan
yang merupakan basil ciptaannya juga terbatas di dalam memenuhi segala
kebutuhan.
“Hasil
karsa masyarakat melahirkan teknologi atau kebudayaan kebendaan yang mempunyai
kegunaan utama melindungi masyarakat terhadap lingkungan dalamnya. Teknologi
pada hakikatnya meliputi paling sedikit tujuh unsur, yaitu:
1.
alat-alat produktif,
2.
senjata,
3.
wadah,
4.
makanan clan minuman,
5.
pakaian dan perhiasan,
6.
tempat berlindung dan perumahan,
7.
alat-alat transpor.”[7]
Dalam
tindakan-tindakannya untuk melindungi diri terhadap lingkungan alam, pada taraf
permulaan, manusia bersikap menyerah dan semata-mata bertindak di dalam
batas-batas untuk melindungi dirinya[8].
Taraf tersebut masih banyak dijumpai pada masyarakat-masyarakat yang hingga
kini masih rendah taraf kebudayaannya. Misalnya suku bangsa Kubu yang tinggal
di pedalaman daerah Jambi, masih bersikap menyerah terhadap lingkungan alamnya.
Rata-rata mereka itu masih merupakan masyarakat yang belum mempunyai tempat
tinggal tetap, hal mana disebabkan karena persediaan bahan pangan semata-mata
tergantung dari lingkungan alam. Taraf teknologi mereka belum mencapai
tingkatan di mana kepada manusia diberikan kemungkinan-kemungkinan untuk memanfaatkan
dan menguasai lingkungan alamnya.
Keadaannya
berlainan dengan masyarakat yang sudah kompleks, di mana taraf kebudayaannya
lebih tinggi. Hasil karya manusia tersebut, yaitu teknologi, memberikan
kemungkinan-kemungkinan yang sangat luas untuk memanfaatkan hasil-hasil alam
dan apabila mungkin menguasai alam. Per¬kembangan teknologi di negara-negara
besar seperti Amerika Serikat, Soviet Rusia, Perancis, Jerman dan sebagainya,
merupakan beberapa contoh dimana masyarakatnya tidak lagi pasif menghadapi
tantangan alam sekitar.
2.3 7 Unsur Kebudayaan Universal
Istilah
ini menunjukkan bahwa unsur-unsur tersebut bersifat universal, yaitu dapat
dijumpai pada setiap kebudayaan di manapun di dunia ini. Para antropolog yang
membahas persoalan tersebut secara lebih mendalam, belum mempunyai pandangan
seragam yang dapat diterima. “Antropolog C. Kluckhohn di dalam sebuah karyanya
yang berjudul Universal Categories of Culture telah menguraikan ulasan para sarjana
mengenai hal itu”[9].
Inti pendapat-pendapat para sarjana itu menunjuk pada adanya tujuh unsur kebudayaan
yang dianggap sebagai cultural universals, yaitu:
1.
Peralatan dan perlengkapan hidup manusia (pakaian
perumahan, alat-alat rumah tangga,senjata, alat-alat produksi transpor dan
sebagainya).
2.
Mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi (pertanian
peternakan, sistem produksi, sistem distribusi dan sebagainya).
3.
Sistem kemasyarakatan (sistern kekerabatan, organisasi
politik, sistem hukum, sistem perkawinan).
4.
Bahasa (lisan maupun tertulis).
5.
Kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak dan
sebagainya).
6.
Sistem pengetahuan.
7.
Religi (sistem kepercayaan).[10]
Cultural-universals
tersebut di atas, dapat dijabarkan lagi ke dalam unsur-unsur yang lebih kecil.
Ralph Linton menyebutnya kegiatan-kegiatan kebudayaan atau cultural aclivity.
Sebagai contoh, cultural universals pencaharian hidup dan ekonomi, antara lain mencakup
kegiatan-kegiatan seperti pertanian, peternakan, sistem produksi, sistem
distribusi dan lain-lain. Kesenian misalnya, meliputi kegiatan-kegiatan seperti
seni tari, seni rupa, seni suara dan lain-lain. Selanjutnya Ralph Linton
merinci kegiatan-kegiatan kebudayaan tersebut menjadi unsur-unsur yang lebih
kecil lagi yang disebutnya trait-complex. Misalnya, kegiatan pertanian menetap
meliputi unsure-¬unsur irigasi, sistem mengolah tanah dengan bajak, sistem hak
milik atas tanah dan lain sebagainya. Selanjutnya trait-complex mengolah tanah
dengan bajak, akan dapat dipecah-pecah ke dalam unsur-unsur yang lebih kecil
lagi umpamanya hewan-hewan yang menarik bajak, teknik mengendalikan bajak dan
seterusnya. Akhirnya sebagai unsur kebudayaan terkecil yang membentuk traits,
adalah items.
Apabila
diambil contoh alat bajak tersebut di atas maka, bajak tadi terdiri dari
gabungan alat-alat atau bagian-bagian yang lebih kecil lagi yang dapat
dilepaskan, akan tetapi pada hakikatnya merupakan suatu kesatuan. Apabila salah-satu
bagian bajak tersebut dihilangkan, maka bajak tadi tak dapat melaksanakan
fungsinya sebagai bajak. Menurut Bronislaw Malinowski yang selalu mencoba
mencari fungsi atau kegunaan setiap unsur kebudayaan, tak ada suatu unsur
kebudayaan yang tidak mempunyai kegunaan yang cocok dalam rangka kebudayaan
sebagai keseluruhan. Apabila ada unsur kebudayaan yang kehilangan kegunaannya,
unsur tersebut akan hilang dengan sendirinya. Kebiasaan-kebiasaan serta
dorongan, tanggapan yang didapat dengan belajar serta dasar-dasar untuk
organisasi, harus diatur sedemikian rupa, sehingga memungkinkari pemuasan
kebutuhan-kebu¬tuhan pokok manusia.
2.4 Konsep -
Konsep Realitas Sosial Budaya Indonesia
1.
Masyarakat
Adalah
sekumpulan manusia yang menempati wilayah tertentu dan membina kehidupan
bersama dalam berbagai aspek kehidupan atas dasar norma sosial terntentu dalam
waktu yang cukup lama.[11]
2.
Interaksi
Sosial
Adalah hubungan dan pengaruh
timbal balik antarindividu,antara individu dari kelompok dan antarkelompok.[12]
3.
Status dan Peran
Status adalah posisi seseorang
dalam masyarakat yang merupakan aspek masyarakat yang kurang lebih bersifat
statis.Peran merupakan pola tindakan dari orang yang memiliki status tertentu
dan merupakan aspek masyarakat yang kurang lebih bersifat dinamis.[13]
4.
Nilai
Nilai itu adalah segala sesuatu yang
dianggap baik dan benar oleh anggota masyarakat dan merupakan sesuatu yang
diidam-idamkan.Pergeseran nilai akan mempengaruhi kebiasaan dan tata kelakuan.
5.
Norma
“Norma merupakan wujud konkret dari
nilai sosial,dibuat untuk melaksanakan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat
yang telah dianggap baik dan benar.”[14]
6.
Lembaga Sosial
Lembaga adalah sistem hubungan
sosial yang terorganisir dan mewujudkan nilai-nilai dan tata cara umu tertentu
dan memenuhi kebutuhan dasar masyarakat.Lembaga merupaka satu sistem norma
untuk mencapai suatu tujuan yang oleh masyarakat dianggap penting.
7.
Sosialisasi
Sosialisasi merupakan proses
individu belajar berinteraksi di tengah masyarakat.Melalui proses sosialisasi
,seorang individu akan memperoleh pengetahuan,nilai-nila dan norma-norma yang
akan membekalinya dalam proses pergaulan.
8.
Perilaku
Menyimpang
Merupakan bentuk perilaku masyarakat
yang tidak sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku.
9.
Pengendalian
Sosial
Setiap masyarakat menginginkan
adanya suatu ketertiban agar tata hubungan antarwarga masyarakat dapat berjalan
secara tertib dan lancar,untuk kepentingan ini masyarakat membuat norma sebagai
pedoman yang pelaksanaannya memerlukan suatu bentuk pengawasan dan pengendalian.[15]
10.
Proses Sosial
Proses sosial merupakan proses
interaksi dan komunikasi antarkomponen masyarakat dari waktu ke waktu hingga
mewujudkan suatu perubahan.Dlama suatu proses sosial terdapat komponen-komponen
yang saling terkait satu sama lain,yaitu:
a)
Struktur sosial,yaitu
susunan masyarakat secara komprehensif yang menyangkut individu ,tata nilai,dan
struktur budayanya.
b)
Interaksi
Sosial,yaitu keseluruhan jalinan antarwarga masyarakat.
c)
Struktur alam
lingkungan yang meliputi letak,bentang alam,iklim,flora dan fauna.Komponen isi
merupakan salah satu komponen yang turut mempengaruhi bagaimana jalannya proses
sosial dalam suatu masyarakat.[16]
11.
Perubahan Sosial
Budaya
Adalah perubahan
struktur sosial dan budaya akibat adanya ketidaksesuaian di antara
unsur-unsurnya sehingga memunculkan suatu corak sosial budaya baru yang
dianggap ideal.
12.
Kebudayaan
Adalah semua hasil cipta,rasa dan
karsa manusia dalam hidup bermasyarakat.Dalam arti luas,kebudayaan merupakan
segala sesuatu yang ada di muka bumi yang keberadaannya diciptakan oleh
manusia.Dibentuk oleh:
1.
artefak,yaitu
benda hasil karya manusia
2.
sistem
aktivitas,seperti berbagai jenis tarian,olahraga,kegiatan sosial,ritual
3.
sistem ide atau
gagasan,yaitu pola pikir yang ada di dalam pikiran manusia.
2.5 Keadaan
Sosial Budaya Indonesia
Dari perspektif agama, masyarakat Indonesia dalam berperilaku menyelaraskan
diri dengan tatanan yang diyakini berasal dari Tuhan, perspektif spiritual
merujuk pada pengembangan potensi-potensi internal diri manusia dalam aktualisasi
yang selaras dengan hukum non materi, dan perspektif budaya yang merujuk pada
tradisi penghayatan dan pengembangan nilai-nilai kemanusiaan untuk membangun
sebuah kehidupan yang comfort
baik secara individu maupun kolektif. Dalam konteks perubahan social sekarang masyarakat
Indonesia dalam sekat pluralisme terakomodasi secara otomatis dalam civics responsibility, social
economics responsibilities, dan personal
responsibility.
Secara spesifik keadaan sosial
budaya Indonesia sangat kompleks, mengingat penduduk Indonesia kurang
lebih sudah di atas 200 juta dalam 30 kesatuan suku bangsa. Oleh karena itu
pada bagian ini akan dibicarakan keadaan sosial budaya Indonesia dalam garis
besar. Kesatuan politis Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri atas
6000 buah pulau yang terhuni dari jumlah keseluruhan sekitar 13.667 buah
pulau. Dapat dibayangkan bahwa bahasa Indonesia yang dijadikan sebagai bahasa
nasional belum tentu sudah tersosialisasikan pada 6000 pulau tersebut,
mengingat sebagian besar bermukim di pedesaan. Hanya 10-15% penduduk Indonesia
yang bermukim di daerah urban. Indonesia sudah tentu bukan hanya Jawa dan Bali
saja, karena kenyataan Jawa mencakup 8% penduduk urban.
Sementara itu bahasa Indonesia masih
dapat dikatakan sebagai “bahasa bagi kaum terdidik/sekolah” pada daerah-daerah
yang tidak berbahasa ibu bahasa Indonesia. Bagaimana dengan yang lain?
Sementara ada orang asing pada tahun 1998 sangat kebingungan mengartikan kata lengser
keprabon yang dalam Kamus Bahasa Indonesia belum tercantum, sedangkan untuk
mengartikan lengser keprabon tidak sekedar pengertian definitif dalam
semantik bahasa Indonesia. Lengser keprabon (yang sekarang sudah dianggap
bahasa Indonesia, seperti dengan kata lain seperti “legawa”) harus
dipahami dalam perspektif sejarah kebudayaan dan sistem politik Jawa. Oleh
karena itu dengan mempelajari aspek psikologis budaya Jawa, penutur asing dapat
memahami makna sebenarnya kata “Lengser Keprabon”. Contoh lain,
seperti kata “ Gemah Ripah Loh Jinawi” yang sering digunakan dalam kosa kata
bahasa Indonesia yang menggambarkan kesuburan Indonesia, antara penutur Jawa
dan Sunda memiliki konsep yang berbeda.
Dalam konsep Jawa “Gemah Ripah
Loh Jinawi, Subur kang Sarwa Tinandur, Murah kang Sarwa Tinuku, Tata Tentrem
Kerta Raharja”, sementara saudara-saudara dari Sunda mengekspresikan dalam
“ Tata Tentrem Kerta Raharja, Gemah Ripah Loh Jinawi , Rea
Ketan Rea Keton Buncir Leuit Loba Duit”[17]
yang artinya saudara dari suku Sunda yang lebih memahami. Sementara itu di
Sumatera Barat dengan adat Minangkabau yang didalamnya terdapat suatu sistem
yang sempurna dan bulat, dalam berbahasa sangat memperhatikan raso, pareso, malu
dan sopan, sehingga bahasa Indonesia yang dituturkannya pun sangat terkait
dengan psikologi budaya Minangkabau.
Oleh sebab itulah dalam memahami
Sosial Budaya dan psikologi masyarakat Indonesia yang nantinya berimplikasi
pada tindak tutur berbahasa Indonesia, paling tidak dalam pendekatan silang
budaya memperhatikan tiga hal yaitu
a.
masyarakat dalam
perspektif agama,
b.
perspektif
spiritual, dan
c.
perspektif
budaya.
BAB
III
DINAMIKA
KEBUDAYAAN DAN MASYARAKAT
3.1
Internalisasi, Sosialisasi, dan Enkulturasi
a. Proses Internalisasi
Manusia
mempunyai bakat tersendiri dalam gen-nya untuk mengembangkan berbagai macam perasaan,
hasrat, nafsu, serta emosi kepribadiannya. Tetapi wujud dari kepribadiannya itu
sangat dipengaruhi oleh berbagai macam stimuli yang ada di sekitar alam dan
lingkungan sosial dan budayanya.[18]
Maka
proses internalisasi yang dimaksud adalah proses panjang sejak seorang individu
dilahirkan sampai ia hampir meninggal, dimana ia belajar menanamkan dalam
kepribadiannya segala hasrat, perasaan, nafsu, serta emosi yang diperlukan
sepanjang hidupnya.
b. Proses sosialisasi
Proses
ini bersangkutan dengan proses belajar kebudayaan dalam hubungan dengan sistem
sosial[19].
Dalam proses itu seorang individu dari masa anak-anak hingga masa tuanya
belajar pola-pola tindakan dalam interaksi dengan segala macam individu di
sekililingnya yag menduduki beraneka macam peranan sosial yang mungkin ada
dalam kehidupan sehari-hari.
c. Proses Enkulturasi
Dalam
proses ini seorang individu mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran serta
sikapnya dengan adat-istiadat, sistem norma, serta peraturan-peraturan yang
hidup dalam kebudayaannya.[20]
Kata enkulturasi dalam bahas Indonesia juga berarti “pembudayaan”. Sorang
individu dalam hidupnya juga sering meniru dan membudayakan berbagai macam
tindakan setelah perasaan dan nilai budaya yang memberi motivasi akan tindakan
meniru itu telah diinternalisasi dalam kepribadiannya.
3.2 Evolusi,
Difusi, dan Akulturasi
a. Proses Difusi
Ilmu
Paleoantropologi memperkirakan bahwa manusia terjadi di daerah Sabana tropikal
di Afrika Timur, dan sekarang makhluk itu sudah menduduki hampir seluruh
permukaan bumi ini. Hal ini dapat diterangkan dengan dengan adanya proses
pembiakan dan gerak penyebaran atau migrasi-migrasi yang disertai dengan proses
adpatsi fisik dan sosial budaya.
Penyebaran
Unsur-Unsur Kebudayaan. Bersamaan dengan penyebaran dan migrasi
kelompok-kelompok manusia di muka bumi, turut pula tersebar unsur-unsur
kebudayaan dan sejarah dari proses penyebaran unsur penyebaran kebudayaan
seluruh penjuru dunia yang disebut proses difusi (diffusion). Salah satu bentuk
difusi dibawa oleh kelompok-kelompok yang bermigrasi. Namun bisa juga
tanpaadanaya migrasi, tetapi karena ada individu-individu yang membawa
unsur-unsur kebudayaan itu, dan mereka adalah para pedagang dan pelaut.
b. Proses Evolusi Sosial
Proses
Microscopic dan Macroscopic Dalam Evolusi Sosial.[21] Proses evolusi dari suatu masyarakat dan kebudayaan dapat dianalisa oleh
seorang peneliti seolah-olah dari dekat secar detail (microscopic), atau dapat
juga dipandang dari jauh hanya dengan memperhatiakn perubahan-perubahan yang
besar saja (macroscopic). Proses evolusi sosial budaya yang dianalisa secara
detail akan membuka mata seorang peneliti untuk berbagai macam proses perubahan
yang terjadi dalam dinamika kehidupan sehari-hari dalam setiap masyarakat di
dunia.
Proses-Proses
Berulang dalam Evolusi Sosial Budaya[22]. Proses ini mengenai suatu aktivitas dalam sebuah lingkunagn atau suatu
adat dimana aktivitas yang dilakukan terus berulang. Dan aktivitas yang
dimaksud biasanya aktivitas yang menyimpang atau diluar kehendak perilaku.
Namun pada suatu ketika dan seiring terjadi aktivitas tersebut selalu berulang
(recurent) dalam kehidupan sehari-hari disetiap masyarakat. Sampai akhirnya
masyarakat tidak bisa mempertahankan adatnya lagi, karena terbiasa dengan
penyimpangan-penyimpangan tersebut. Maka masyrakat terpaksa memberi konsesinya,
dan adat serta aturan diubah sesuai dengan keperluan baru dari
indibidu-individu didalam masyarakat.
Proses Mengarah dalam Evolusi Kebudayaan.[23] Dengan mengambil jangka waktu yang panjang maka akan terlihat
prubahan-perubahan besar yang seolah bersifat menentukan arah (dirctional) dari
sejarah perkembangan masyarakat dan kebudayaan yang bersangkutan. Sebagai
contoh misalnya tingkat kebudayaan manusia yang berawal dari Neolitik, kemudian
berubah menjadi Mesoltk dan akhirnya berubah menuju Paleolitik.
c. Proses Akulturasi
Poses
sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu
dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan demikian rupa,
sehingga unsur-unsur kebudayaan asing tersebut lambat laun diterima dan diolah
kedalm kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan
itu sendiri.[24]
Jadi,
intinya proses akulturasi adalah penggabungan kebudayaan asing dengan
kebudayaan asli sehingga mengahasilkan suatu kebudayaan baru. Akan tetapi pada
proses sosial akulturasi ini kebudayaan asli nilai - nilai, norma - norma, dan
segala sesuatu yang berhubungan dengan kebudayaan asli tidak hilang.
3.3
Etnocentrisme, Xenocentrisme, dan Relativisme Budaya
a. Etnocentrisme
Etnosentrisme
bisa diartikan sebagai pandangan bahwa kelompoknya sendiri adalah pusat dari
segalanya dan semua kelompok lain dibandingkan dan dinilai sesuai dengan
standar kelompok sendiri.[25]
Atau secara bebas bisa dikatakan etnosentrisme adalah kebiasaan setiap kelompok
untuk menganggap kebudayaan kelompoknya sebagai kebuadayaan yang paling baik.
Kita mengasumsikan tanpa pikir atau argument bahwa masyarakat kita merupakan
masyarakat “progresif” sedangkan masyarakat di luar dunia “terbelakang”,
kesenian kita indah, sedangkan kesenian lain aneh.
Etnosentrisme
membuat kebuadayaan kita sebagai patokan untuk mengukur baik buruknya, tinggi
rendahnya dan ebnar atau ganjilnya kebudayaan lain . ini sering dinyatakan
dalam ungkapkan orang-orang terpilih, ras unguul, penganut sejati, dsb.
b. Xenocentrisme
Istilah
ini berarti suatu pandangan yang lebih menyukai hal-hal yang berbau asing. Ini
adalah kebailkan yang tepat dari etnosentrisme. Ada banyak kebanggaan bagi
orang-orang tertentu ketika mereka membayar lebih mahal untuk barang-barang
impor dengan asumsi bahwa segala yang datang dari luar negeri lebih baik.
c. Relativisme Budaya
Kita
tidak mungkin memahami perilaku kelompok lain dengan sudut pandang motif,
kebiasaan dan nilai yang kita anut.[26]
Relativisme kebudayaan fungsi dan arti dari suatu unsur adalah berhubungan
dengan lingkungan/keadaan kebudayaannya. Motif, kebiasaan, nilai suatu
kebudayaan harus dinilai/dipahami dari sudut pandang mereka. Relativisme
kebuadayaan juga bisa diartikan “segala sesuatu benar pada suatu tempat-tetapi
tidak benar pada semua tempat”
3.4 Kebudayaan
Sebagai Sistem Norma
Kebudayaan
berarti menyangkut aturan yang harus diikuti - maka kebudayaan menentukan
standar perilaku.[27]
Sebagai contoh untuk bersalaman kita mengulurkan tangan kanan; untuk menggaruk
kepala boleh menggunakan tangan kiri atau kanan. Karena kebudayaan kita tidak
memiliki norma untuk menggaruk kepala.
Istilah
norma memiliki dua kemungkinan arti. Suatu norma budaya adalah suatu konsep
yang diharapkan ada. Kadang norma statis dianggap sebagai kebudayaan yang
nyata. Norma statis sering disebut sebagai suatu ukuran dari perilaku yang
sebenarnya, disetujui atau tidak.[28]
Norma kebudayaan adalah seperangkat perilaku yang diharapkan suatu citra
kebuadayaan tentang bagaimana seharusnya seseorang bersikap.
Berbagai
masyarakat telah mencoba berbagai macam pola yang dapat dilaksanakan. Sebagai contoh,
suatu masyarakat sudah mencoba makan sambil berdiri, duduk di lanati, duduk di
kursi atau jongkok di lanatai; mereka boleh makan bersama, atau masing-masing
sendiri; boleh menggunakan tangan, sendok; boleh memulai dengan minum anggur,
makan soup atau tidak ekduanya. Setiap cara merupakan sekumpulan sejumlah
kemungkinan, yang semuanya dapat dikerjakan. Melalui coba-coba, situasi
kebetulan, atau nbeberapa pengaruh yang tidak disadari suatu masyarakat sampai
pada salah satu kemungkinan, mengulanginya dan menerimanya sebagai cara yang
wajar untuk memenuhi kebutuhan tertentu, pakai baju batik, makan nasi dsb.
Generasi baru menyerap kebiasaan tersebut. Mereka terus menerus melihat cara
berperilaku tertentu, mereka yakin itulah cara yang benar.
Kejadian
itu diteruskan kepada generasi penerus sebagai salah satu kebiasaan. Folkways
(kebiasaan) : cara yang lazim yang wajar dalam melakukan sesuatu oleh
sekelompok orang. Sebagai contoh berjabat tangan, makan dengan tangan, makan
dengan sumpit, makan dengan sendok-garpu, mengenakan sarung, kopiah, pada
kesempayan-kesempatan tertentu. Ada dua kebiasaan yaitu (1) hal-hal yang
seharusnya diikuti sebagai sopan santun dan perilaku sopan, (2) hal-hal yang
harus diikuti karena yakin kebiasaan itu penting untk kesejahteraan masyarakat.
Pandangan salah benar yang menyangkut kebiasaan disebut tata kelakuak (mores).[29]
Jadi mores (tata kelakuan) adalah gagasan yang kuat mengenai salah dan benar
yang menuntut tindakan tertentu dan melarang yang lain.
Biasanya
anggota suatu amsyarakat sama-sam merasakan keyakinan yang luhur bahwa
pelanggaran pada tata kelakuakn mereka akan menimbulkan bencana bagi anggota
masyarakat tersebut. Namu kadang-kadang orang luar melihatnya sebagi sesuatu
yang tidak masuk akal. Kalau orang yakin bahwa perilaku tertentu merugikan,
maka ia akan dikutuk oleh tata kelakuan. Tata kelakua adalah keyakinan tentang
salah dan benar dalam perilaku/tindakan. Sebagi contoh kenduri merupakan
kebiasaan masyarakat jawa. Dipercaya apabila orang tidak melaksanakan kenduri
akan mendatarngkan bencana bagi masyarakat tersebut
BAB
IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Konsep - Konsep tentang Realitas
Sosial Budaya : Masyarakat, Interksi social, Status dan peran, nilai, norma,
lembaga social, sosialisasi, perilaku menyimpang, pengendalian
sosial, proses social, perubahan social dan kebudaya.
Konsep Masyarakat adalah segenap
tingkah laku manusia yang di anggap sesuai. Tidak melanggar norma-norma umum
dan adat istiadat serta terintegrasi langsung dengan tingkah laku umum.
Secara spesifik keadaan sosial
budaya Indonesia sangat kompleks, mengingat penduduk Indonesia kurang
lebih sudah di atas 240 juta dalam 30 kesatuan suku bangsa. Oleh karena itu
pada bagian ini akan dibicarakan keadaan sosial budaya Indonesia dalam garis
besar.
Dan pada makalah ini juga dijelaskan
bagaimana berlangsungnya budaya dalam masyarakat yang dapat diambil kesimpulan
masyarakat tanpa budaya tidak mungkin tercipta suatu susunan atau tatanan yang
harmonis, dan sebaliknya budaya tanpa masyarakat tidak akan mungkin pernah ada,
karena budaya merupakan ciptaan masyarakat yang merupakan bagian penting dalan
kajian - kajian ilmu sosial.
Inti dari makalah ini adalah
masyarakat itu sifatnya dinamis oleh karena itu selalu ada perubahan -
perubahan yang terjadi dalam segala aspek kehidupannya. Namun jika perubahan
atau pembaharuan yang terjadi terlalu cepat, maka masyarakat tersebut akan
mengalami (shock) yang akan berakibat merusak tatanan yang ada dan dapat
memberi pengaruh yang negatif dari perubahan yang terjadi tersebut.
4.2 Saran
Dalam menghadapi
kemajemukan dan pluralitas bangsa dan negara ini haruslah dengan langkah -
langkah yang bijak dan benar, apalagi di dalam kemajemukan tersebut masyarakat
dan segala tingkahlaku dinamisnya dapat rentan sekali terjadi konflik, untuk
itu toleransi SARA harus ditingkatkan demi terciptanya integrasi bangsa dan
negara ini dan untuk menghindari konflik.
DAFTAR
PUSTAKA
Depdiknas. Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia. 2002
Edward, Saleh. Dinamika Kebudayaan dan Masyrakat”. http://pengantar-sosiologi.blogspot.com
/2009/04/bab-9-dinamika-kebudayaan-dan-masyarakat.html
Priyogo.
“Masyarakat dan Kebudayaan” http://pengantar-sosiologi.blogspot.com/2009/04/bab-7-kebudayaan-dan-masyarakat.html.
hal 25-27
Soekamto, Soerjono. Sosiologi
Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers. 2009
Subagyo, Rafandi
. “Santri, Priyayi, Abangan”. http://pengantar-sosiologi.blogspot.com /2009/04/bab-4-santri-priyayi-dan-abangan-masyarakat-jawa.html
Waluyo, Supartono. Ilmu
Budaya Dasar. Jakarta:Ghalia Indonesia, 1995
Zakaria,
Muhammad. “Kebudayaan Sebagai Sistem Norma”. http://pengantar-sosiologi.blogspot.
com/2009/04/bab-7-ciri-kebudayaan&-kedudukan kebudayaan + norma.html
[1] Supartono W, Ilmu Budaya Dasar,
Jakarta, Ghalia Indonesia, 1995, hal 30
[2] Depdiknas, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Jakarta, Gramedia, 2002, hal 198
[3]
Soerjono Soekamto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta, Rajawali Pers, 2009, hal 167
[4] Soekamto. Op.Cit. hal 14
[5]
Priyogo, “Masyarakat dan Kebudayaan”, http://pengantar-sosiologi.blogspot.com/2009/04/bab-7-kebudayaan-dan-masyarakat.html,
hal 25
[6] Soekamto. Op.Cit. hal 189
[10] Soekamto. Op.Cit. hal 153
[11] Ibid. hal 17
[12] Ibid. hal 53
[13] Ibid. hal 209
[15] Soekamto. Op.Cit. hal 57
[16] Ibid. hal 64
[17] Rafandi Subagyo, “Santri,
Priyayi, Abangan”, http://pengantar-sosiologi.blogspot.com/2009/04/bab-4-santri-priyayi-dan-abangan-masyarakat-jawa.html
[18] Soekamto,
Op.Cit. hal 61
[19] Ibid.
[20] Ibid. hal 263
[21] Ibid. hal 276
[22] Ibid. hal 281
[23] Ibid. hal 275
[24] Ibid. hal 284
[25] Saleh Edward, “ Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan”, http://pengantar-sosiologi.blogspot.com/2009/04/bab-9-dinamika-kebudayaan-dan-masyarakat.html
[26] Ibid